Aku Mencintaimu Karena Allah

Aku Mencintaimu Karena Allah

"Ini siapa ya? Reihan sedang tidur!"
"Pentingkah tahu siapa saya? Ada pesan apa? Nanti saya sampaikan pada Reihan kalu dia bangun."

   Terdengar sayup-sayup suara seorang wanita sedang bicara. Kupaksa mata untuk membuka meski terasa sangat berat. Kulihat seorang wanita tengah berdiri membelakangi tak jauh dati tempatku berbaring. Kuraba kepala takut terjadi sesuatu yang parah. Aku meringis saat tangan menyentuh dahi kanan yang kurasa ada benjolan kecil dan rasanya sangat sakit.


   Kuedarkan pandangan disekitar, selang infus menancap di tangan. Dan aku menyadari bahwa saat ini berada di rumah sakit. Terakhir yang kuingat mobil terpelanting menabrak tiang karena menghindari motor yang tiba-tiba nyalip dari kanan, di pertigaan jalan dekat rumah Dewi. Setelah itu semuanya gelap.
Kupaksakan tubuh untuk duduk bersandar, meski terasa begitu berat dan kepala rasanya sangat sakit.

"Rei ... kamu sudah sadar?" Wanita itu berjalan mendekat. Raut wajahnya berbinar. Namun aku justru fokus pada benda pipih di tangannya yang kuyakini adalah milikku.
'Reihan sedang tidur'. Kata-kata itulah yang kudengar tadi. Dan aku curiga bahwa dia telah membuat ulah lagi.
"Aku panggilin dokter dulu ya, Rei ..." Wanita itu hendak melangkah pergi namun kutarik tangannya dan merampas benda pipih itu.
"Rei ...!" Dia tersentak. Wajah putihnya seketika berubah pucat.

   Tanpa memperdulikannya, langsung kuperiksa panggilan keluar dan masuk di layar ponselku. Mata membulat saat menemukan nomor dengan nama 'Bidadariku' berada dipanggilan masuk sepuluh menit lalu. Nomor itu adalah milik Araselly. Dan kecurigaanku semakin bertambah saat kutatap tajam dirinya namun dia seperti salah tingkah.

   Kutekan nomer Araselly untuk melakukan panggilan. Jantung terasa berhenti berdetak seketika saat nomer yang kutuju sedang tidak aktif. Kuulang lagi dan lagi namun tetap sama. Kuremas ponsel dan menatap nanar wanita yang berdiri di sampingku saat ini.

"BAJINGAN KAMU, WI!" umpatku kasar. Napas memburu karena emosi yang sudah tak bisa kutahan.
"Rei ...!" Mata sipit itu membulat.
"Apa yang kamu katakan pada istriku?!"

Wanita berjaket merah itu menggeleng kuat. Matanya berkaca-kaca.

"JAWAB!" bentakku.
Dewi menggeleng kuat.
"KAMU!" kutunjuk wajahnya,
"Kalau sampai Araselly pergi ninggalin aku ... KUBUNUH KAMU!"
"Rei ...," isaknya. Tangannya meraih tanganku namun kutampik dengan kasar.

"DASAR WANITA IBLIS!" Emosi benar-benar sudah dipuncaknya. Kulepas paksa impus yang menancap ditangan. Meringis saat sakit tiba-tiba menjalar keseluruh urat tangan.
"Rei ..." Dewi menghalangiku yang hendak berdiri, namun kudorong tubuhnya hingga terhuyung menatap meja kecil di samping ranjang.
Aku berdiri dengan susah payah karena kepala rasanya tertimpa beban yang sangat berat.

"Dengar!" kutunjuk kembali dirinya,
"Mulai sekarang, jangan pernah temui aku lagi!" tegasku dengan menatapnya nanar.
"Maafkan aku, Rei ..." Dewi meraih lenganku namun kudorong dengan kasar hingga tersungkur kebawah.

   Aku bahkan tidak perduli jika saat ini bersikap sangat kasar pada wanita. Karena wanita ini sudah kubaiki namun bukannya sadar malah semakin menjadi.

   Aku melangkah keluar dengan sempoyongan. Tidak memperdulikan Dewi yang menangis terisak.
Kutelepon Pak Hasan untuk menjemput, karena rumah sakit ini tak jauh dari rumah. Aku bahkan tidak memikirkan bagaimana nasib mobilku yang nabrak tadi. Pikiranku cuma satu, pulang ke Apartemen sekarang dan memastikan Araselly masih di sana.

"Ya Allah Mas Reihan ...," ucap Pak Hasan terkejut saat aku memasuki mobil dan duduk di depan,
"Mukanya pucat banget, Mas? Itu keningnya biru-biru begitu kenapa?"
"Tadi saya kecelakaan," jawabku.
"Ya Allah! Kok bisa? Kecelakaan dimana, Mas?" tanya Pak Hasan lagi.

"Nanti saja ceritanya. Sekarang tolong antarkan saya pulang secepatnya." Kusandarkan tubuh dan memejamkan mata. Kepala semakin terasa berat.
"Baik, Mas."
Mobilpun mulai melaju pelan.

"Mba Ara berarti belum tahu kalau Mas Rei kecelakaan?"
Aku hanya menggeleng lemah.
"Tadi saya baru saja nganterin orang tuanya Mba Ara ke Apartemen ...,"
"Apa?!" Aku langsung terkejut.
"Iya. Tadinya orang tuanya Mba Ara datang ke rumah. Terus saya anterin ke toko tapi toko tutup. Makanya saya langsung anterin ke Apartemen."

"Kenapa Pak Hasan gak bilang ke saya dulu?"
"Ehh iya maaf, Mas. Saya lupa ngasih tahu dulu."
"Ya Allah ...," teriakku frustasi sambil menjambak rambut dengan kuat.

   Isak tangis Ara yang meminta pulang saat Dewi membuat ulah berkelibat dibenakku. Saat ini yang kutakutkan, Ara akan kembali meminta pulang atau bahkan pergi begitu saja. Ponselnya tak bisa dihubungi membuatku semakin takut.

   Dan semakin takut karena saat ini orang tuanya ada di Apartemen. Bagaimana kalau Ayah Ibunya tahu apa yang terjadi dengan pernikahan anaknya? Bagaimana kalau tadi mereka mendengar apa yang dikatakan Dewi lewat telepon? Bagaimana kalau justru orangtuanyalah yang membawa pulang Ara?

   Tubuh masih terasa sangat sakit, kepala begitu berat, ditambah pikiran kacau dan perasaan tak tenang. Akupun tak menghiraukan berbagai pertanyaan Pak Hasan. Karena yang kupikirkan saat ini hanya Araselly baik-baik saja. Semoga ia tidak termakan oleh omongan Dewi.

Keluar dari mobil, aku langsung lari menuju Apartemen. Pak Hasan mengikuti dari belakang.

"Ara ...," teriakku saat sudah membuka pintu Apartemen.
Tak ada jawaban.
"Ara ...," teriakku lagi. Melangkah dengan cepat menuju kamarnya yang terbuka.

   Ara tidak ada di kamar. Kemudian melangkah menuju kamarku yang juga terbuka sambil berteriak memanggilnya. Namun nihil, tak ada juga. Pikiranku tertuju pada lemari pakaian Ara. Kembali kumelangkah ke kamarnya.

Deg ...

   Tubuh seketika terasa lemas, saat tak ada satupun baju yang tersisa di lemari. Kuambil ponsel di saku celana lalu kutekan nomor Ara untuk memanggil. Jawaban masih sama, nomor yang kutuju sedang tidak aktif. Berkali-kali kupanggil namun tetap sama.

"AARRRGGGH ...!"

   Kubanting ponsel sampai pecah berhamburan. Kujambak rambut kuat-kuat. Lalu tangan mengepal memukuli lemari plastik itu sampai pecah dan tangan tergores sampai berdarah. Napas memburu karena emosi dan rasa frustasi yang menyatu.

"Mas Reihan ..." Suara Pak Hasan terkejut, mendekatiku. Meraih tanganku yang sudah penuh darah.
"Astagfirullah ... istighfar Mas istighfar ...." Pak Hasan menggoyang-goyangkan bahuku.
"Astagfirullahaladzim ... Ya Allah ...," ucapku terisak. Lalu menjatuhkan diri dan bersandar pada lemari yang sudah rusak. Mata terpejam hingga air matapun berjatuhan bebas.

"Ada apa sebenarnya, Mas?" tanya Pak Hasan pelan yang ikut berjongkok dan mengelus lenganku.
"Ara pergi ninggalin saya, Pak ...," lirihku,
"Dia pergi karena kebodohan saya." Mataku menatap sendu lelaki yang sudah bertahun-tahun bekerja pada Almarhum Eyang. Tatapan mengadu seperti anak pada Ayahnya. Mengadu bahwa saat ini hatinya sedang patah, terluka, bahkan terasa begitu menyiksa.

"Saya nggak tahu apa permasalahannya. Tapi yang pasti, Mas Rei jangan menyakiti diri sendiri seperti ini. Tenangin dulu pikirannya ...,"
"Bagaimana saya bisa tenang, kalau istri saya pergi ninggalin saya sendiri disini," tukasku cepat.
"Nomornya apa nggak bisa dihubungi?"

Aku menggeleng lemah dan tersenyum miris menatap ponsel yang sudah terpecah belah dan berserakan.

"Astagfirullah ..." Pak Hasan beristigfar menatap ponselku.
"Pak," kusentuh pundaknya,
"Kita ke bandara sekarang."
"Ke bandara?" Pak Hasan balik bertanya.
Aku mengangguk kuat.
"Semoga Ara masih ada di bandara."

   Sejurus kemudian, aku dan Pak Hasan sudah sampai di bandara setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam.
Setelah bertanya kepada petugas, ternyata penerbangan Jakarta - Semarang berangkat sekitar jam 4 sore nanti. Kulirik jam tangan, dan sekarang masih jam 2 siang. Aku berharap bahwa Ara masih ada di bandara. Ku minta Pak Hasan untuk ikut mencari dengan berpencar.

   Aku terduduk lemas di salah satu kursi. Setelah satu jam lebih berputar kesana-kemari mencari, namun tak terlihat juga Araselly. Hati bergemuruh diikuti air mata yang jatuh tanpa kusuruh.
"Ara ... kenapa kamu pergi ninggalin aku?" lirihku terisak. Kutangkupkan kedua tangan di wajah. Tak memperdulikan orang-orang yang wira-wiri disekitar.

Hati terasa terhimpit. Sesak dan perih. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Dan semua ini karena kebodohanku yang masih mempercayai Dewi.

"Mas Reihan ..." Suara Pak Hasan memanggil lalu ikut duduk di sampingku.
Aku menatapnya penuh harap. Meski aku tahu jawabannya. Pak Hasan menggeleng lemah yang artinya pencariannya juga nihil. Aku tersenyum, entah senyuman apa yang pantas untuk menggambarkan keadaanku yang sangat menyedihkan saat ini.

"Pak Hasan tahu kampungnya Ara?" tanyaku kemudian.
"Kota Grobogan atau biasa disebut purwodadi, kan?"
"Iya. Pak Hasan tahu itu dimana?"
"Ya tahu. Nggak terlalu jauh dari kota saya, Solo."
"Ya sudah kita kesana sekarang."

"Kemana, Mas?"
"Ya ke kampungnya Ara ..."
"Loh saya itu cuma tahu kotanya. Kalau kampungnya saya gak tahu, Mas."
"Ya pokoknya kita kesana aja dulu, Pak. Nanti kita bisa cari alamatnya ..."
"Mas Rei ..." Pak Hasan menyentuh pundakku,
"Lebih baik sekarang sholat dulu, biar tenang pikirannya. Berdoa, minta petunjuk sama Allah."

Air mata kembali turun mendengar ucapan Pak Hasan.

"Mas Rei lebih baik makan, minum obat, terus istirahat dulu. Kalau sampai besok belum ada kabar dari Mba Ara, saya akan temani Mas Rei ke kampungnya Mba Ara," ujar Pak Hasan lembut.

Aku beristigfar berkali-kali untuk meredakan emosi dan menenangkan pikiran.
Previous
Next Post »

2 comments

Click here for comments
January 3, 2019 at 10:02 AM ×

Ini kayak karya Poppy Novita di KbM,mau dibukukan pula.

Balas
avatar
admin

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment