Aku Wanita Kedua Suamimu

AKU WANITA KEDUA SUAMIMU

"Gawat, Bang. Abang harus pulang!" seru Ilham membuat jantungku kian berdetak kencang.
Ya, Allah...Apa yang terjadi dengan Rara? Pikiranku sudah menjalar kemana-mana. Tentang keadaan Rara yang sudah aku lewatkan begitu saja. Bodohnya aku! Kenapa tidak aku menelepon mereka setiap hari. Biarpun Retno ogah melihatkan wajahnya padaku, setidaknya aku bisa melihat wajah-wajah anakku.
Kulihat Aulia duduk di kursi menatapku dengan wajah penuh tanya. Aku membiarkan wanita itu dengan pikirannya. Sementara aku mencoba untuk meredakan kecemasan yang sejak tadi terus memburu.

"Ada apa, Ham..?" tanyaku panik pada orang di sebrang. Terdengar suara nafas Ilham yang terbuang panjang. Seolah mengatur suasana hatinya sendiri.
"Proyek kita di Kalideres, Bang."
Syukurlah. Bukan tentang Rara. Bayanganku sudah memutar film yang tidak-tidak. Aku membuang nafas lega. Tapi ritme detakan jantung masih berloncatan. Pasti bukan masalah sepele sehingga Ilham bisa sepanik ini.

"Kenapa?"
"Bangunannya roboh."
"Apa!!" teriakku. Astaga. Proyek pembangunan sebuah apartemen bertingkat tiga yang sudah kami kerjakan selama dua tahun terakhir ini.
"Bagaimana bisa terjadi?"
"Aku juga tidak tahu awal mulanya, Bang. Pak Yatno barusan menelepon memberitahu kejadian ini"
"Bagaimana keadaan para pekerja?"
"Saat itu para pekerja tidak ada yang lembur jadi tidak ada korban jiwa. Hanya saja bangunan yang jatuh mengenai rumah sekitar." terang Ilham dengan suara mulai terkontrol. Pelan tapi tegas terdengar.
"Apa penduduk ada yang cedera?" tanyaku memastikan. Ilham menghembuskan nafas perlahan.
"Tidak, Bang. Hanya saja mereka menuntut ganti rugi."
Aku terdiam. Kepala rasanya mengangkat TV tabung 32 inch. Tidak ada kata lain. Yang terlintas di otak hanya kata berat dan pening.
Aku memejamkan mata, didalamnya terdapat putaran angin beliung. Membuat otakku makin berputar. Mau tidak mau, aku cepat-cepat membuka mata menghilangkan bayangan itu.

"Bang!"
"Jangan teriak! Aku sedang berpikir." bentakku membuat Ilham terdiam.
"Aku harus bagaimana nih, Bang? Pokoknya Abang harus pulang. Aku takut dipukuli para warga, Bang."
"Bodoh!" makiku sambil menutup saluran telepon dan meletakkannya di meja.
Hancur sudah apa yang aku kerjakan selama ini. Pastinya aku bakal kehilangan banyak uang. Membenahi apartemen yang masih setengah jadi juga membayar kerugian yang diminta penduduk. Sementara proyek disini tak bisa diharapkan untuk cepat selesai.
Aku meremas remas rambutku.

"Ada apa?" tanya Aulia yang sedari tadi diam. Dipegang bahu supaya melepas remasan pada rambut. Aku duduk lemas di kursi. Lelah.
Inikah yang namanya karma?
"Aku harus pulang ke Jakarta." ucapku lirih. Aulia diam.
"Banyak yang harus aku selesaikan disana."
"Lama?" tanyanya.
"Mungkin. Sebulan. Entahlah..."
Aku juga bingung harus memprioritaskan yang mana. Disini juga butuh perhatian ekstra tapi disana juga butuh penyelesaian. Ups! Itu kata untuk hidupku. Kok sama akhirnya dengan nasib proyekku.
"Aku ikut!" kata Aulia menggenggam tanganku.
"Aku juga sudah lama tak mengunjungi kedua orang tuaku. Biarkan aku ikut, ya." Aku terdiam. Berpikir kembali.
"Tapi aku tak janji bisa menemuimu."
Dia diam. Menatap lama. Senyum yang tadi mengembang kembali menyurut.
Lalu mengangguk pelan. Melepas genggamannya.
Pening otakku. Aulia tak bisa mengerti keadaan. Kenapa dia bisa merajuk dalam keadaan segenting ini? Kenapa tak bisa menenangkan seperti Retno?
Daripada makin panas keadaan malah tambah ruyam situasi. Akhirnya aku mengalah untuk pergi.

"Siapa wanita tadi?" saat langkah kaki beberapa jauh dari sampingnya.
"Budhenya Retno..."
Aku melihat wajah Aulia. Mata sipit itu melebar.
"Apa mereka sudah tahu keberadaanku?"
"Entah...."
Ada binar bahagia disana. Lalu membuang muka saat tahu aku amati.
Saat aku memasuki teras rumah, keadaan rumah nampak sepi. Padahal ini, hari minggu. Seharusnya anak-anak akan berlarian menyambutku.
Dari dalam terburu-buru, Pakdhe Lemon datang menghampiri. Membawa koper yang sedari tadi aku seret.

"Maaf , Pak. Saya tidak tau kalau Bapak datang." ucapnya. Aku cuma tersenyum. Lalu masuk kedalam rumah dan menghempaskan badan pada sofa ruang tamu.
Sepi. Tidak ada suara anak-anak yang tertawa bahkan kadang bertengkar. Akh! Aku rindu rumah ini. Rindu suasananya yang ramai. Andai saja aku tak melakukan kesalahan. Mungkin aku akan tetap seperti dulu. Bahagia karena di cinta.
"Retno dan anak-anak mana, Pakdhe?" tanyaku. Saat Pakdhe Lemon datang membawa segelas es lemon tea di nampan.
"Di toko roti." jawab Pakdhe Lemon sambil meletakkan gelas itu di meja dihadapanku.
Toko roti.
Melihatku yang terdiam. Pakdhe mengerutkan dahi.
"Lho Bapak gak tau to, kalau Nak Retno membuka lagi toko rotinya dulu."
Aku tercegang. Mendadak es yang kuminum seperti air panas yang langsung aku muntahin karena kepanasan.
Astaga. Retno, kamu benar-benar menyiapkan langkah untuk pergi.
Terdengar suara mobil memasuki garasi. Kemudian ocehan anak-anak yang mulai keluar dari mobil. Tawa mereka membuat hatiku dipenuhi kabut. Kerinduan yang begitu dalam seolah menuntut untuk dilampiaskan. Berlonjak -lonjak.
Segera aku keluar dan menemui mereka di pintu masuk. Tawa mereka seketika berhenti saat melihat aku yang tersenyum menyapa. Aku pikir mereka akan berlari menyongsongku. Tapi yang kudapatkan hanya tatapan kosong.
Diam. Hanya itu.
Kulihat Rara melihatku dengan mata berair. Bibir mungil itu bergetar mengeluarkan suara tangis lirih. Aku mengulurkan tangan ke arahnya tapi dia menampik kasar.


"Papa jahat!" teriaknya. Sementara Airina dan Sabrina melewati , berjalan menuju pintu rumah. Aku hanya mampu menatap mereka dengan perasaan sesak.
"Kakak Ai, Kak Ina..." panggil Retno. Saat kedua anak itu berada di depan pintu. Mereka berhenti seolah tau teguran ibunya tentang apa. Mereka berbalik menjabat tanganku dan mencium punggung tangan dengan tergesa.
Aku lebarkan tangan. Berharap seperti biasanya mereka akan berlari merebut pelukan. Tapi apa yang kudapat. Kosong. Tak ada pelukan bahkan kata sapaan. Mereka malah melesat pergi.
Sakit. Melebihi kehilangan apapun.
Rasanya aku seperti orang asing yang berharap pelukan. Bodoh.
"Kita masuk, Ma." ajak Rara menarik tangan ibunya. Aku liat badan Rara sedikit menyusut. Mungkin karena sakit kemarin. Mukanya juga masih terlihat lesu dan pucat.
"Rara gak kangen Papa?" tanyaku berjalan mendekati, duduk jongkok dihadapannya. Rara menggelengkan kepala lalu menyembunyikan wajah di gamis ibunya.
"Ini bukan Papaku." sambil menunjukkan tangan ke arahku.
Aku terkejut. Apa mungkin Rara amnesia?. Aku mengusap wajah merasakan bagian kasar pada dagu dan kumis. Apa karena aku tak mencukur kumis dan jenggot, ya.
"Ini papa, Sayang." ujarku meraih tangan mungil itu lalu menariknya ke pelukan. Dia berontak. Tangan sebelahnya memegang kain gamis ibunya.
"Gak mau! Aku gak mau Papa yang ini." teriaknya. Rasanya hati seperti dikuliti. Perih.
"Rara, ini Papa, Sayang." aku tenggelamkan kepalanya di pelukan. Tak terasa airmata jatuh di pipi. Aku menangis menyaksikan penolakan anakku. Rasanya sakit.
"Maafkan Papa, ya...Nak!" Rara mendengar suara tangis yang terlatun pelan dari bibirku. Tiba-tiba dia berhenti berontak lalu membiarkan aku memeluknya erat.

"Papa gak sayang lagi , ya ma Rara." desahnya lirih. Lalu terdengar tangis kecilnya menyayat hati. Terisak di pelukan. Sementara Retno hanya diam tanpa suara. Lalu melangkah pergi meninggalkan kami.
"Papa sayang..."
"Kalau sayang, kenapa Papa gak pulang-pulang. Kata temen aku... Papa punya Mama baru..." suara tangis itu menghancurkan hati hingga berkeping- keping.
Ya...Allah, orang- orang yang aku perjuangkan untuk selalu bahagia. Malah aku sendiri yang memberikan sakit.
Aku mendekap kepalanya lebih dalam pada pelukan.
"Maafkan, Papa..." Rara mencium pipi. Menatap dalam mataku.
"Rara kangen ma Papa. Mama juga selalu menangis setiap malam."
Aku menatap mata itu yang seolah meminta jawaban. Rasanya aku ingin menampar pipiku sendiri. Bagaimana aku bisa memberinya jawaban tentang kebenaran yang ada. Kalau kenyataannya bakal menyakitkan hatinya juga.
"Jangan pergi lagi..." isaknya merangkulku erat. Membasahi bahu tempatnya bersandar. Aku hanya mampu membalas dengan mengusap rambutnya lembut.

"Kenapa buka toko roti gak bilang dulu sama aku?"
Aku melihat wajah yang aku rindukan itu tetap tenang. Walau terlihat banyak perubahan. Dia terlihat kurus dan membesar di bagian tertentu. Wajahnya nampak pucat dan ada lingkaran hitam pada matanya menandakan dia tak bisa tidur nyenyak. Mungkin dia menangis setiap malam karena kebodohan yang kuperbuat.
Retno hanya diam. Berdiri tanpa sekalipun menatap. Bahkan tak ada lirikan nakal yang mencuri pandang yang aku rindukan. Lalu menunduk malu, saat aku menangkap basah kemudian memberi kecupan jauh. Rasanya aku rindu masa itu. Sekarang yang kulihat dihadapanku, bukanlah Retno yang penuh cinta tapi Retno yang lain. Saat menatapku seolah melihat orang asing.
"Pentingkah itu untukmu?" Aku terdiam. Mendengar jawaban yang tak biasa. Ini pertama kalinya selama 2 minggu kepulanganku, dia mau menjawab pertanyaanku. Retno menjaga jarak bahkan saat bersama anak-anak. Lebih banyak diam dan cenderung melamun. Bahkan diapun tidak mau tidur di kamar malah memilih tidur bersama Rara. Aku tak bisa berbuat banyak hanya menunggu waktu yang tepat saat kami bisa berdua.
Proyek di Kalideres memakan banyak pikiran. Sehingga akupun harus fokus untuk menyelesaikan masalah itu. Lalu membiarkan Retno dengan argumentnya sendiri.

   Penduduk tidak mau diajak berdamai malah memilih jalur hukum. Mau tidak mau, aku harus memenuhi tuntutan mereka. Padahal kerusakan rumah mereka tidaklah parah. Puing- puing bangunan hanya jatuh pada atap mereka walau sebagian kecil juga sampai pada lantai. Itupun tidak sampai retak parah. Robohnya bangunan disebabkan kemiringan tidak stabil saat membangun lantai tiga. Sementara lahan berada pada kawasan padat penduduk. Entah ...karena kurang kehatian para pekerja atau memang sudah terlanjur apes.
Masalahnya mereka menuntut ganti rugi perkepala yang nilainya menurutku merugikan pihak perusahaan. Sementara pemilik apartemen lepas tangan mengenai kasus ini. Sang pemilik berdalih ini bukan kesalahan dari pihak mereka.
Aku menutup pintu ketika Retno masuk kamar mencari sesuatu. Dia mengira, aku berada di dalam kamar mandi saat wanita itu melonggokkan kepala mencari keberadaanku. Padahal aku tak sengaja berada di balik pintu. Saat aku hendak keluar, tiba-tiba knop pintu berputar pelan menandakan siapa yang datang. Dan aku memilih untuk bersembunyi di baliknya sampai Retno masuk ke dalam.

"Jelas itu cukup penting bagiku." kataku penuh penegasan.
"Apa selama ini, uang yang Papa kasih kurang hingga Mama bersusah payah mencari penghasilan." Retno diam. Hanya terdengar hembusan tertahan. Berulang kali. Dada itu naik turun seolah meredakan sakit didalamnya.
"Ini langkah awal untuk bisa terlepas sampai saat semua keburukanmu terbongkar."
Deg!
Terlepas. Apa mungkin Retno sudah mengirim surat gugatan? Melepaskan. Kata itu membuatku sesak mendadak.
"Keburukan apa?" aku mencoba untuk menutupi kesalahan yang jelas Retno sudah tau. Apa salahnya? Sampai ada bukti yang benar tentang keberadaan Aulia, aku akan tetap bertahan.
"Kau kira, aku bodoh bisa kamu tipu terus menerus." teriaknya meninggi.
Aku terbelalak kaget mendengar kata kasar darinya. Tak ada sapaan yang biasanya terlantun lembut, hanya ada kata aku dan kamu. Ternyata Retno sudah membuat jarak yang amat jauh dan mungkin sulit aku robohkan.
Aku mendekati punggung itu mencoba untuk memeluknya.

"Jangan sentuh aku!" teriaknya. Menampik tangan dan mundur beberapa langkah. Mata itu menghujam jantung dan menusuknya berulang kali.
"Dengarkan penjelasanku dulu!"
"Cukup!" sela Retno dengan suara tertahan. Ada gejolak yang sekuat tenaga dia tahan. Badan itu terlihat bergetar. Menampakkan hati yang mulai sekarat.
"Cukup. Aku tidak mau lagi mendengar penjelasanmu." terdengar isak lirih tapi sekuat tenaga dia menahan tangisnya keluar. Hanya suara yang berat dan tertatih
"Aku sudah muak mendengar semua kebohongan. Cukup sudah! Aku sudah tak kuat lagi menahan semuanya. Apa yang aku rasakan tentang kecurigaan itu ...ternyata benar adanya. Aku sudah menduganya dari awal. Tentang perubahan demi perubahan yang kamu lakukan. Dari yang tak pernah tertinggal ponsel ditangan hingga sampai mematikan ponsel berhari- hari. Lebih memilih jauh dari keluarga sampai merasa tak memiliki."
Aku diam. Menatap wanitaku yang bersandar di tembok. Sakit hati membuat kakinya tak mampu menompang berat tubuh. Tangannya mengepal kuat. Lalu sorot mata penuh luka itu membabat habis pertahankanku. Membuat hati mulai teremas remas dengan setiap kesanksiannya.

"Aku takkan memintamu membuat pilihan, aku rasa itu akan berat bagimu" ujarnya menghembuskan nafas panjang seolah menghilangkan sesak yang menekan dadanya. Lalu mata itu beralih menerawang jauh. Seperti menguatkan hati yang rapuh untuk berdiri.
"Biarkan aku saja yang menentukan pilihan." Aku memejamkan mata. Rasanya kata-kata itu meninju kuat dada. Menimbulkan sakit hingga aku nyaris tak kuat menahannya.
"Aku tak akan pernah melepaskanmu sampai kapanpun." teriakku menggenggam kedua tangannya lalu menekan tubuh itu ke tembok. Retno memberontak menghentakkan tubuhnya terjepit tubuhku. Wajahnya mencoba menghindar dari bibir yang hendak mendaratkan ciuman.
"Hentikan!" teriaknya yang mulai menangis sedih. Tangisan yang tertahan itu mulai runtuh atas perlakuan burukku. Aku masih tetap menekan tubuh itu mendaratkan ribuan ciuman bahkan dengan kasar aku melepas kerudung yang menutupi rambutnya.
Retno mendorong tubuh untuk menjauh. Tenaganya tak seberapa dengan rasa takut kehilangan yang ada dalam hati. Ketakutan itu membuat otakku tak berpikir jernih. Hingga membiarkan wanita itu menangis melengking menerima pemaksaan yang aku lakukan.

"Hentikan! Kamu menyakitiku dan..... Bayiku"
Kata itu menyadarkanku atas kebodohan yang aku lakukan.
Bayi...
Kulihat Retno yang meringkuk, melihatkan bagian tubuhnya yang membuncit.
Gamis yang dipakainya sudah tak beraturan bentuknya.
Aku memegang bahu yang telanjang dan memaksa matanya untuk menatapku. Mata itu meredup sinarnya, ada banyak luka yang sudah aku torehkan dan sekarang aku sudah menyakiti hati dan juga tubuhnya...
Retno menangis terisak-isak. Bahkan suara tangisnya tak bisa terdengar lagi.
Plakk!
Tangan mungil yang selalu memanjakan aku setiap letih, mendarat kasar di pipi. Bibirnya bergetar bersama tubuh yang terguncang karena tangis yang tak bisa tertahan.
"Tanda tangani surat cerai setelah bayi ini lahir..." gumannya di sela isak tangis.


    Aku mengirim pesan singkat pada Aulia. Aku berharap dia mengerti ketidakbisaanku datang untuk mengunjunginya. Hari ini adalah hari dimana sidang diputuskan. Siapa yang akan berhak mendapatkan kemenangan atas tuntutan yang diajukan.
Dan akhirnya... Perjuanganku selama ini harus berakhir di sidang ini. Aku rasanya ingin mengambil pistol lalu menebak kepalaku sendiri. Rasanya aku tak mampu melewati keterpurukkan ini tanpa ada seseorang yang biasanya memberikan aku banyak motivasi. Dan sekarang aku dibiarkan sendiri.
Menangis.
Itu takkan bisa mengembalikan apa yang sudah hilang.
Sidang mengumumkan bahwa...
Kami ....
    Pihak perusahaan harus membayar tuntuntan atas kerugian penduduk dengan total biaya hampir milyaran.
Sementara proyek di kalimantan harus di alihkan ke Baharudin. Itupun perusahaan harus membayar denda dengan uang yang tak kalah besarnya.
Sempurna sudah akhir dari pekerjaan yang aku rintis dari nol. Dan kini hancur...sekedip mata. Aset- aset perusahaan pun harus ikut terjual karena dana kas habis buat proyek di kalimantan.
Akh... Ini karma yang sepatutnya aku dapat.

[Ma, pulanglah. Aku ingin bicara denganmu.]
Pesan yang kukirimkan untuk Retno. Berharap dia mau pulang dari toko roti miliknya untuk berbincang barang sebentar. Saat ini aku butuh seseorang yang bisa kuajak bicara. Menumpahkan semua penat yang ada. Dan hanya Retno yang mampu menenangkan hati saat aku seperti ini.
[Tidak bisa. Aku ada urusan penting.]
Seperti itu balasan yang kuterima. Tak ada kesempatan untukku lagi. Bahkan hanya sekedar berbincang.
    Aku menatap plang nama toko roti di sebrang jalan. Roti Ainara. Nama kelak untuk anak laki-laki kami. Dari sini terlihat beberapa pengunjung yang sedang memesan roti. Di sudut paling depan, Retno memainkan laptop bersama Rara di kursi kasir. Tampak Rara yang tertawa senang saat Retno mencubit pipi gemas.
Seorang pria tiba-tiba berdiri menyapa mereka. Ada raut bahagia diwajah Retno dan Rara saat melihat pria itu. Terlihat dari senyum lebar serta wajah bahagia. Dan yang tak pernah kuduga, tangan Rara mengisyaratkan minta di gendong. Karena Rara adalah tipekal anak yang sulit berbaur dengan orang asing. Sedangkan pria itu bagiku asing bukan keluarga Retno ataupun temannya yang kukenal.
Pasti. Mereka bukan satu atau dua kali bertemu tapi sering.
Jangan. Jangan. Ini alasan utama Retno meminta cerai. Karena ada seseorang yang siap menerimanya.
Dadaku tiba-tiba sakit. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pikiran ini. Melihat mereka tertawa bahagia, hatiku serasa diremas remas.
Entah... Langkah ini terayun tanpa terkendali. Menuju sesuatu yang membuat dadaku sulit bernafas.
Dan.
Brakkk.
Tangan ini terkepal meninju wajah seseorang. Pria itu terjatuh kebelakang menabrak meja. Sementara Retno mendekap kepala Rara masuk dalam pelukan.

"Jadi ini urusan penting kamu." teriakku tepat pada wajah wanitaku. Retno membelalakkan mata sedangkan Rara menangis ketakutan.
"Pantas kamu bersikeras minta cerai, jadi ini alasan utama kamu."
Dengan spontan, aku menendang kursi yang berada di depanku. Dan pergi meninggalkan mereka yang mengawasi. Sempat aku melihat raut wajah Retno yang mendung lalu menangis memanggil namaku. Tak kuhiraukan. Bahkan saat Rara berteriak dan menangis. Langkah tetap terayun pergi. Terlalu gelap otakku untuk berpikir jernih. Bahkan menjadi manusia baikpun seolah tak ada. Hanya kemarahan yang menyelimuti.
Harus ada pelampisan.
Kalau tidak, aku bisa mati karena sakit ini.
Tiba-tiba wajah Aulia berkelebat.

    Saat pintu terbuka, kulihat wajah wanita bermata sipit itu tersenyum senang. Di peluk tubuh dengan dadanya menggairahkan. Aku bahkan tak bisa merasakan hasrat atau hanya pelampiasan. Aku memburu wajah itu dengan ganas dan liar hingga Aulia tercekat hampir mau menolak.
Bahkan tanpa malu, aku melepas daster tanpa kerah itu dengan kasar. Padahal kami masih berada di ruang tamu. Aulia menjerit. Memukuli dada yang terus mendekap.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment