Hari Pertama

Hari Pertama

Aku melihatnya. Wanita berhijab warna marun itu. Dia melangkah anggun menyeruak kerumunan pemuda di jembatan perkampungan.

Hari pertama

Hari ini pertama kali aku melihat dia.
Berwajah manis dan pandangan matanya selalu menunduk ke bawah ketika menyadari segerombolan pemuda tengah asik berkumpul di benteng jembatan pembatas kampung dan komplek perumahan.

"Punten." Suaranya terdengar lembut. Kami yang sedang main gitar dan berdendang 'Pesawat tempur' milik Iwan Fals pun berhenti sejenak, serempak menjawab, "Mangga, Neng."

"Dee, baru pulang yah?" Ari salah satu temanku mengenal dan menyapanya.

Rupanya namanya Dee.

"Iya, a Ari." Dee mengangguk, kemudian pamit pergi.

Entah mengapa aku terus memandangi dia. Seakan ada magnet yang membuat mataku terus memperhatikannya.

"Bro, ngapain tuh mata liatin si Dee melulu. Waaah, jangan-jangan lu mupeng ma dia." Ari menyenggol lenganku, membuatku tersadar apa yang tengah aku lakukan. Memandangi Dee.

Aku tersenyum sekilas, sebelum kembali bergabung bersama mereka.

"Raihan, kamu baru pulang!" Ayah berseru padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruang tamu. Aku mengangguk dan mencium tangannya.

"Cepat mandi, bentar lagi magrib. Dan isya nanti waktunya kita solat taraweh pertama di mesjid." Ayah mengingatkanku seperti anak kecil saja. Tak banyak bicara aku segera menurut.

Ibu mempersiapkan baju koko, peci dan sarung untukku.

"Baru pulang dari Jakarta kok langsung nongkrong ke kampung sebelah, bukannya istirahat di rumah." Ibu menggerutu setengah kesal padaku.

Aku katakan padanya jika aku kangen teman-teman kampungku di sana.

"Habis isya jangan kemana-mana. Ikut Ayahmu bertandang ke rumah pak Surya." Ibu berkata.

"Buat apa, Bu?" Aku bertanya heran.

"Ngelamar anaknya buat kamu! Salah sendiri, umur sudah 25 masih belum punya jodoh."

"Yaelah, Bu. Aku kan masih muda. Soal nikah bisa kapan-kapan."

"Enggak bisa begitu, Raihan. Kamu itu anak ibu dan ayah satu-satunya. Harus cepat menikah. Kami ingin melihatmu berumah tangga dulu sebelum kami dipanggil oleh Alloh nanti."

Bila ibu sudah bicara begitu, aku pun tak bisa menjawab, hanya diam tak berkutik.

Adzan magrib terdengar. Ayah, ibu dan aku bergegas menuju mesjid.

Rumah kami berada di komplek Green City View, yang letaknya tak jauh dari perkampungan. Mesjid komplek sangat jauh, kami lebih sering mengunjungi mesjid Al-ikhlas. Mesjid kampung sebelah. Kampungnya si Ari.

Orang-orang berjubel memasuki pintu masjid.

Aku mengantre. Saat itulah aku melihat kembali wanita berwajah manis itu. Masih mengenakan kerudung yang sama. Warna marun.

Aku terkesiap ketika wanita itu memergokiku yang tengah memandanginya.
Dia menatap tajam tanda tak suka dipelototi begitu.

Aku tersenyum padanya. Namun ia tak membalas senyumanku. Ia melangkah melewatiku menuju pintu khusus untuk akhwat.

Aah, sialan. Dia tak peduli padaku!

Solat magrib berakhir.

Kali ini solatku di mesjid terganggu dengan pikiran yang mengingat sosok wanita berkerudung marun. Dee.

Aku menolehkan wajahku ke barisan akhwat.

Ah, dia tengah duduk mengajari anak-anak kecil mengaji iqro.

Hmmh, rupanya dia guru ngaji di sini.

Satu jam kemudian. Waktunya adzan isya. Aku berinisiatif untuk mengumandangkan adzan.

Kembali mesjid dipenuhi oleh para jemaahnya. Termasuk Dee yang selesai mengajar ngaji.

Taraweh berlangsung secara tertib selama hampir satu jam dengan diisi kultum tujuh menit.

"Raihan, ikut Ayah ke rumah pak Surya dulu." Ayah menepuk punggungku mengingatkan. Aku mengangguk menurutinya.

Ayah bicara padaku dalam perjalanan menuju rumah pak Surya yang entah sebelah mana rumahnya itu, hanya Ayah yang tahu.

"Ayah ingin kamu segera menikah. Kami sudah tua, kasihan ibumu setua itu masih harus mengurusmu. Sudah waktunya kamu punya istri. Maka dari itu Ayah memintamu pulang dari Jakarta dan menetap tinggal di sini."

"Ayah, tapi apa tidak terlalu cepat menikahkan aku dengan gadis yang belum aku kenal tentang siapa dia orangnya?" Aku mencoba meminta waktu pada Ayah.

"Kami tak punya waktu lagi. kami sering sakit-sakitan. Ibumu ingin segera menimang cucu. Kamu anak lelaki, kewajibanmu menurut pada ibumu."

Ah, kenapa ayah jadi menasehatiku dengan mengeluarkan jurus andalannya itu. Menggunakan ibu agar aku tak berkutik untuk tak melakukan tawar menawar lagi.

Kami tiba di kediaman pak Surya. Pria itu menyambut kedatangan kami dengan ramah.

"Aisyah. Bawakan 3 gelas teh manis cepat!" Pak Surya berseru.

Deg. Jantungku berdebar ketika sesosok wanita keluar dari dapur dan membawakan nampan berisi tiga gelas teh yang kemudian ia suguhkan kepada kami, tamu di rumah itu.

Ah, bukankah itu Dee?

Gadis berhijab marun yang dua kali bertemu denganku hari ini.

Pertama kali bertemu di jembatan kampung, kemudian pertama kali bertemu di mesjid Al-ikhlas dan sekarang pertama kali bertemu di rumah orang tuanya.

"Duduk di sini sebentar, Aisyah." Pak Surya melarang putrinya untuk kembali ke dapur.

Dee duduk di sofa seberangku. Aku melirik untuk melihat Dee. Sementara ia menunduk menahan pandangannya.

Kuamati, ia permainkan jemari tangannya untuk mengatasi rasa gugup yang mungkin sedang menyerangnya. Bibirnya ia gigit kuat, seolah takut bila aku menyentuhnya.

"Pak Surya, seperti yang pernah kita bicarakan dua minggu yang lalu, tentang perjodohan anak kita itu, maka malam ini aku bawa Raihan sekalian untuk langsung melamar putrimu si Aisyah Dee. Menjadi calon istrinya. Bagaimana, apakah kau setuju?"

"Aku setuju."

Aku dan Dee saling menatap satu sama lain saking kaget mendengar obrolan kedua orangtua kami yang hanya asik berencana dan mengobrol berdua saja tanpa melibatkan kami apakah kami setuju atau tidak.

Terlihat di paras manis itu, sebuah mimik wajah kecewa dan hendak menangis. namun tangisannya ia tahan dengan kembali menggigit bibirnya kuat-kuat.

Aku terus memperhatikan.
Ah, sepertinya Dee tak menginginkan perjodohan ini.

"Waktunya bagaimana kalo dua minggu lagi?" Terdengar Ayah mengajukan tanggal. Aku membeliak memandangnya tak percaya. Baru saja aku hendak bicara pak Surya langsung menyetujui pengajuan tanggal itu.

"Baiklah, kami setuju saja."

Aku melihat Dee meneteskan air mata yang segera ia usap perlahan dengan jemarinya yang lentik.

"Ayah." Akhirnya aku memberanikan diri memotong pembicaraan para orangtua. Ayah dan pak Surya memandangiku.

"Apa sebaiknya kita bertanya pada Dee, apakah dia setuju atau tidak dengan rencana ini?"

Dee terkejut mendengar aku berkata itu.

"Ah, begini nak Raihan. Aisyah Dee ini putriku, dia sudah menyerahkan semua keputusan kepadaku sebagai ayahnya. Iya, kan, Aisyah?" Pak Surya berpaling ke arah Dee yang tengah
memandangiku itu.

Dee perlahan mengangguk, tapi aku tahu ia melakukan semua ini dengan terpaksa, demi orangtuanya.

Inilah hari pertama aku bertemu dengan Aisyah Dee. Wanita yang kemudian menjadi istriku.

By : Dina Rosita
Bandung, 17 Mei 2018
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment