Aku Kembali


Aku Kembali

    Aku gugup. Kini duduk di tepi ranjang. Riasan tipis ini membalut. Beberapa kali meremas jemari tangan. Keringat dingin mengucur dari dahi. Beberapa kali tangan-tangan itu mengelap keringat di pelipisku dengan tisu. Gurat bahagia nampak dari beberapa wajah yang ada di dekatku. Suara riuh terdengar dari ruang tamu. Kegugupan ini masih sulit untuk ditepis. Memori otak seakan berputar dengan sendirinya.

"Ayolah, Yang" kata Revan mulai meminta lebih.

Aku menepisnya. Mulai menghindar dari kecupan-kecupan liarnya. Ah, harusnya aku tahu akan seperti ini. Harusnya tadi aku menolak ajakannya untuk mampir di kostnya.

"Aku lelah, pengen balik" kataku beralasan.

Revan menghembuskan napas kasar. Aku tahu dia kecewa. Mencoba menguasai diri lalu bangkit mengambil kunci motor besar kesayangannya di meja.

"Yuk!"

   Segera kumengikutinya keluar. Setelah beberapa kali merapikan jilbab miniku dan mengaitkan kancing kemeja atas yang sempat terkoyak.
Motor besar Revan melaju kencang. Menembus jalanan yang semakin macet di sore yang berawan. Kueratkan tangan di pinggangnya. Mencoba merasai tubuhnya. Mengingat-ingat setiap jengkal memori bersamanya. Mengukir seribu kisah di kota perantauan demi menimba ilmu.
Revan Setiawan. Berawal di organisasi kampus. Selalu menghabiskan waktu bersama, diskusi-diskusi ringan yang menyenangkan. Bertukar pikiran. Ide-ide brilian yang muncul dari pemikiranya menghadirkan kekaguman tersendiri buatku. Orasi-orasi cerdasnya yang menghipnotis mata tak terelakkan.

   Kekaguman ini mengalir menjadi sayang dan sayang berakhir menjadi cinta. Gayung bersambut, tahun kedua kuliah yang indah. Saling bergantung dan melengkapi. Saling berbagi dan mengisi. Ribuan kisah dan kenangan tercipta. Ya, di kota ini. Kota kenangan yang tak pernah mati. Tak terasa tiga tahun berlalu. Tiga tahun bersama mengecap madu indahnya asmara.
Sejujurnya tak ada yang istimewa dari fisiknya. Kulit sawo matang, hidung tak terlalu mancung, standart. Bibirpun biasa saja, tak terlalu menggoda. Hanya dua daya tariknya. Lengkung alis yang hitam tebal sempurna, memberi kesan tegas, dan bulu lentik matanya, manis. Siapapun tak akan bisa menolak pesonanya.

   Tak ada masalah yang berarti selama tiga tahun ini. Hanya riak-riak kecil yang mencoba menghantam. Semua bisa teratasi. Saling jujur dan mengerti. Tapi akhir-akhir ini dia berusaha meminta lebih. Aku tak pernah setuju untuk yang satu ini. Nuraniku masih berkata jangan. Terlalu jauh. Meski restu dari masing-masing keluarga telah kami kantongi.

"Aku masuk" kataku setelah sampai di depan kost lalu turun dari motor besarnya.
"Kania!" panggil Revan.
"Ya?" Aku menoleh.
"Ini ..." Revan memberi sebuah kunci, "kalau sewaktu-waktu kamu berubah pikiran, datang saja! Setelah sidang skripsi ini aku akan melamarmu."
Mataku berkaca-kaca menatapnya,terharu dan meraih kunci kamar kostnya. Ini bukan suasana romantis yang selalu kubayangkan. Bukan, bukan seperti ini.
"Cengeng," kata Revan lalu menstarter motor besar miliknya.
"Hati-hati," kataku dengan melambaikan tangan.
Senyum ini merekah. Bahagia. Senyum pengharapan dan senyum penantian. Senyum yang akhirnya membuat dua teman sekamarku penasaran dan menyebutku gila.

    Beberapa kali mencoba menghubungi Revan. Tidak ada jawaban. Sore ini kami berjanji akan menghabiskan weekend berdua. Penat, setelah menghadapi ujian skripsi. Kuputuskan langsung ke tempat kostnya.
Kurogoh kunci pemberian Revan beberapa hari yang lalu di dalam tas. Segera kutancapkan di gagang pintu dan memutarnya.
KLIK! KLIK!
Pintu kubuka
Tuhan,


   Aku tercekat. Kaget. Untuk sepersekian detik aku mematung. Gemetar. Pemandangan di ranjang yang seharusnya tak kulihat. Seperti sebuah pedang tajam yang menancap. Tersayat. Bertubi-tubi mengoyak. Berdarah-darah. Sakit. Perih. Mataku mulai panas. Rembesan air mata mulai berebutan keluar.
"Kania ..." seru mereka bebarengan tak kalah kagetnya.
Aku berlari. Mencoba menyembunyikan air mata yang terus mengalir tak terbendung lagi. Menulikan telinga dari teriakan Revan yang mulai mengejar. Aku hanya ingin pulang.
Ingin rasanya berteriak. Menjerit. Memaki sekeras yang kubisa. Mencabik-cabik muka keduanya memberitahunya kalau aku terluka.
Apa yang lebih perih dari sebuah penghianatan? Ya, dua penghiantan sekaligus. Sahabat dan kekasih. Sahabat sekamar yang bersamanya kau berbagi suka dan duka.
Allah,
Ini terlalu sakit. Air mata ini mengalir deras bersama kenangan-kenangan yang tiba-tiba bermunculan di pelupuk mata. Aku menjerit. Kupukul dada berulang-ulang kali menyadari kebodohan yang selama ini terjadi. Aku meringkuk. Bersandar pada sudut dinding kamar yang dingin.

"Kania!" Naura menepuk lenganku. Aku tergagap dari lamunan masa silam. Mencoba menguasai hati yang tiba-tiba terasa sesak.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Lamat kudengar suara dari ruang tamu. Aura kebahagiaan meliputi. Keluarga dan sahabat yang menemaniku di kamar mengucap syukur. Tersenyum bahagia.
"Keluarlah Nak!" perintah ayah yang menyusulku ke kamar.
Aku mengangguk. Gaun putih ini melambai indah, anggun, suci tanpa noda. Secarik kain berwarna senada kututupkan di wajah. Menuju ruang tamu lalu duduk di sebelah lelaki yang baru saja mengucap ikrar suci. Lelaki yang baru dua bulan ini kukenal dan mantap mempersuntingku. Lelaki yang bersamanya akan kuraih ridhoNya.
Butuh empat tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar untuk menyembuhkan luka yang menganga. Bukan waktu yang sebentar pula untuk menggantungkan sebuah kepercayaan kembali.
Dan inilah aku sekarang, duduk bersamanya.

    Akan ada saat dimana kau akan risih ketika sehelai rambutmu terlihat.
Akan ada saat kau merasa malu ketika kerudungmu tak menutupi dada.
Akan ada saat kau memuseumkan pakaian ketat dan jelana jeansmu lalu mengganti isi lemari dengan gamis, rok dan pakaian longgar lainnya.
Akan tiba saatnya ketika kau ingin keluar rumah hal yang kau cari setelah kerudung adalah kaos kaki.

   Akan tiba saatnya kau cukup menangkupkan kedua tangan di dada ketika bukan mahrom mengajakmu bersalaman.
Akan tiba saatnya kau enggan memakai parfum yang sangat wangi ketika keluar rumah yang membuat orang lain terkagum-kagum dengan keharuman parfummu.
Akan tiba saatnya kau merasa menjadi orang paling berdosa karena pernah melanggar aturanNya.

   Akan tiba saatnya kau menyesali setiap kenangan kelam dalam hidupmu yang penuh dengan kemaksiatan.
Dan akan tiba saatnya kau kembali kepada kasih sayangNya.
Dan akan tiba saatnya pula ketika kesakitan begitu mengoyak hatimu lalu menyadarkanmu, kau hanya perlu pulang.
Allah ...
Aku kembali.

By : Naila
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment