Mengapa Nabi Muhammad Tidak Mengendarai Angin

Mengapa Nabi Muhammad saw Tidak Mengendarai Angin

   Abu Bakar menggenggam sepuluh keping logam. Terbuat dari perak dan orang biasa menyebutnya dirham. Uang itu dia bawa mendatangi Azib untuk membeli binatang tunggangan.

Muhammad

Singkat cerita, mereka pun bertransaksi. Rencannya, setelah itu Abu Bakar mau langsung pulang, untuk menyelesaikan urusan lain yang masih banyak, sedang masalah binatang yang baru saja dibelinya dia serahkan kepada Azib, "Suruhlah anakmu Si Bara supaya mengantarkan binatang itu!"

"Tidak!" tolak Azib.

Mau apa ini orang? Kok berani-beraninya menolak perintah sahabat terdekat Rasulullah Sollallahualaihi wasallam. Apa dia tidak takut durhaka?

"Sampai Anda menceritakan dulu kepada kami bagaimana kisah perjalanan Anda bersama Rasulullah ketika keluar dari Makkah sementara orang musyrikin sibuk mencari-cari kalian." ternyata penolakan itu modus.

Ada-ada saja Azib ini.

   Untunglah Abu Bakar seorang penyabar. Rencananya hendak segera pulang dia tunda. Ikhlash karena Allah meluangkan waktu untuk sejenak berhikayat. Semoga menjadi amal jariyyah ilmu buat bekal akhirat, dan terbebas dari dosa menyembunyikan ilmu yang mana itu bisa menjadi sebuah laknat.

"Kami berangkat dari Makkah, berjalan sepanjang malam dan siang,"

Azib menyimak penuh perhatian, begitu pula Bara putranya, menghadapkan seluruh badan kepada Abu Bakar. Fokus, seakan tak mau sehuruf pun terlewat dari telinga. Hatinya hanyut ke dalam kisah yang tengah ia dengar.

Terbayang olehnya bagaimana dua orang pria berjalan di tengah cuaca ekstrim gurun pasir, sepanjang malam sampai pagi, sampai siang ...

"Hingga datang waktu Dzuhur, aku mencari-cari tempat bernaung agar kami dapat istirahat di bawahnya. Kulihat sebuah batu besar, segera kuhampiri dan tampak ada naungannya. Maka kubentangkan alas untuk Nabi Sollallahu alaihi wasallam. Maka beliau pun beristirahat. Sementara aku memantau daerah sekitarku, apakah ada orang-orang yang mencari kami datang mengintai."

Azib dan Bara terus menyimak, tidak sekata pun keluar dari mulut mereka memotong pembicaraan.

Semoga keridhaan Allah terus melimpahi mereka, ayah dan anak yang sedang berada di madrasah terbaik dunia, madrasah Rasulullah dengan Abu Bakar yang kini sedang bertindak sebagai gurunya.

"Tiba-tiba aku melihat ada seorang penggembala kambing, sedang menggiring kambingnya ke bawah tempat teduh di bawah batu tadi, dia ingin berteduh seperti kami. Maka aku bertanya kepadanya, 'Siapa tuanmu wahai budak?' dia menjawab, 'Aku budak milik seseorang dari suku Quraisy'. Dia menyebut nama seseorang dan aku mengenalnya, kemudian kutanyakan, 'Apakah kambingmu memiliki susu?' dia menjawab 'Ya', lantas kutanyakan, 'Maukah engkau memerasnya untuk kami?' Dia menjawab 'Ya'. Maka dia mengambil salah satu dari kambing-kambing tersebut, setelah itu kusuruh dia agar membersihkan susu kambing tersebut terlebih dahulu dari kotoran dan debu, kemudian kuperintahkan agar membersihkan telapak tangannya dari debu, maka dia menepukkan kedua telapak tangannya dan mulai memerah susu, sementara aku telah mempersiapkan wadah yang di mulutnya dibalut kain untuk menampung susu, maka segera kutuangkan susu yang telah diperas itu ke dalam wadah, dan kutunggu hingga bawahnya dingin, lalu kubawa ke hadapan Nabi dan ternyata beliau sudah bangun. Segera kukatakan padanya, 'Minumlah wahai Rasulullah.' Maka beliau mulai minum hingga aku lega (karena melihat beliau telah kenyang). Setelah itu kukatakan pada beliau, 'Bukankah kita akan segera berjalan kembali ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Tentu'. Kami melanjutkan perjalanan, sementara orang-orang musyrik terus-menerus mencari kami."

   Azib dan putranya terpaku. Keduanya sepakat, ini kisah perjalanan sangat menakutkan. Betapa tidak, Nabi dan Abu Bakar terancam kehilangan nyawa karena saat itu para pengejar tak semata mengejar dengan kebencian, tapi juga semangat mendapatkan hadiah sangat besar. Kaum Quraisy telah membuat sayembara, bahwa siapa pun berhasil menangkap dan membunuh Muhammad, akan mendapatkan hadiah seratus ekor unta. Bukan ekornya saja, tapi lengkap dengan untanya. Bukan sekadar unta, melainkan unta pilihan.

"Tapi tak seorang pun sanggup menyusul kami," Lanjut Abu Bakar
"Kecuali Suraqah bin Malik bin Ju'syum yang mengendarai kudanya, maka kukatakan kepada Rasulullah, 'Orang ini telah berhasil mengejar kita wahai Rasulullah.' namun beliau menjawab, 'La tahzan innallaha ma'ana'"

Jangan bersedih, Allah bersama kita.

Ucapan yang keluar dari keyakinan tanpa ternodai keraguan, dan Allah pun menyelamatkan mereka.

Seperti diceritakan Suraqah sendiri dalam Shahih Bukhari, ketika pengejarannya hampir mencapai Rasulullah dan Abu Bakar, dengan pedang sudah terhunus siap menebas, kaki kudanya terjerembap ke lubang pasir. Kuda berhenti mendadak, sementara gaya dorong akibat larinya yang kencang masih besar tersisa. Suraqah pun terlempar dari punggung kuda membanting pasir.

"Bukk!!"

Suraqah kesakitan. Berusaha bangun sambil memaki-maki. Ingat hadiah seratus ekor unta, semangatnya kembali menyala, Suraqah meloncar ke punggung kuda dan kembali memacu, tapi setelah jarak hampir dekat, kaki kudanya kembali terjerembab dan kembali terlempar ke depan.

Dua kali terlempar, dua kali terbanting ke pasir, sakit badannya kian parah. Tapi tak masalah, dia kembali bangkit, namun saat hendak mencabut kaki kuda, terasa olehnya sangat keras. Dia putus asa. Teriak kepada Muhammad meminta didoakan agar bisa terlepas.

   Di depan, Nabi pun mendoakannya hingga Suraqah berhasil mencabut kaki kuda, dan kembali menungganginya. Ternyata masih belum kapok, teringat hadiah 100 ekor unta, kembali membuatnya memacu kuda hendak mengejar. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, kaki kudanya kembali terjerembab, tubuhnya terlempar, kali ini barulah dia sadar, yakin manusia bernama Muhammad ini bukan sembarang manusia, ada pelindung yang tidak tampak oleh mata. Suraqah pun berhenti mengejar, dan Nabi selamat sampai ke Yatsrib

Sebenarnya bisa saja Nabi meminta kepada Allah supaya mengutus angin dan menerbangkannya langsung dari Makkah ke Yatsrib, tak perlu ada acara pengejaran dan lelahnya perjalanan. Akan tetapi jika caranya demikian, takkan pernah ada pelajaran buat kita umatnya, bahwa proses berhijrah itu bukan perkara ringan, membutuhkan proses, keberanian, perjuangan, dan keimanan kuat.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment