Ikatan Darah

IKATAN DARAH

   Untuk perkampungan tempat tinggalku, jam delapan malam telah sepi. Sepulang mengaji dari masjid, tak biasanya Bapak duduk di teras seperti menunggu kami, kulihat ada kilatan amarah di mata Bapak. Setelah mencium tangannya kami masuk diikuti Bapak.

Sini!” bentak Bapak pada kami.

   Dengan jantung yang deg degan aku dan adikku Nashir yang kini duduk di kelas lima Sekolah Dasar, mendekat. Tatapan Bapak membuat kami menunduk tak sanggup mengangkat kepala, dalam hati bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Bapak sedemikian marah.




Siapa di antara kalian yang mengambil Uang Ibu untuk membayar koperasi?” tanya Ayah.
Kami terdiam, karena aku benar-benar tidak tahu uang yang Bapak sebutkan.
Baiklah, karena kalian tidak ada yang mengaku. Bapak akan cambuk kalian berdua.
Sambil mengambil bilah bambu selebar dua jari dengan panjang kurang lebih satu meter. Tak bisa kubayangkan Nashir menerima cambukan Bapak.
Jangan, Pak! Biqis yang mengambil uang itu, Nashir tak salah,” kataku sambil mendorong Nashir agak menjauh.
Anak macam apa kamu, hah? Berani mencuri,” hardik Bapak, sambil mengayunkan bilah bambu berkali-kali ke betisku. Aku menggigit bibir menahan sakit sementara bulir bening tak bisa kutahan meluncur bebas dari kelopak mataku, namun tak sedikitpun aku mengaduh.

   Setelah Ibu memelukku, Bapak menghentikan pukulannya. Dengan terpincang-pincang aku dibimbing Ibu masuk kamar. Betisku penuh dengan bilur-bilur merah yang membiru. Ibu mengobatinya dengan ulekan beras dan kencur sambil menangis, begitu pula dengan Nashir ia memelukku sambil terisak-isak.

Kenapa Teteh mengaku? Yang mengambil uang itu aku,” bisiknya.
Ibu terperangah mendengarnya, aku segera membekap mulut Nashir.
ssssstt ... Adek sama Ibu diam saja! jangan sampai Bapak mendengarnya, nanti Nashir kena pukul juga, cukup Teteh saja,” bisikku.
Ibu dan nashir semakin menjadi tangisannya, meski kaki sakit dan perih tapi hatiku senang bisa menyelamatkan adik semata wayangku.
Adek mengambil uang buat apa?” tanyaku.
Maafkan Nashir, Teh, Bu. Nashir melihat teman-teman membeli mainan mobil-mobilan, Nashir pengeeen banget, hingga nekat mengambil uang Ibu,” jawabnya di antara isakannya.

   Aku dan Ibu memeluknya, di usianya sangat dipahami keinginannya, sedangkan keuangan kami yang hanya mengandalkan Bapak sebagai buruh tani, bisa mencukupi makan pun sudah sangat beruntung. Ibu memberi Nashir bekal sekolah dua ribu kalau sedang ada uang.

"Jangan diulang lagi, ya! mencuri itu dosa. Di dunia bisa berlepas diri tapi di akhirat tidak," kata Ibu.
Nashir mengangguk, sementara tangisnya makin menjadi.
Bu! Ngapain di situ? Biarkan anak itu merasakan akibatnya,” bentak Bapak dari luar kamar.

   Ibu segera menyeka air matanya dan bergegas keluar kamar, tinggal aku dengan Nashir yang tak henti terisak sambil meniup-niup kakiku. Dua hari aku tak bisa sekolah karena kaki yang sakit.
Itu pengalaman masa kecil kami, kini aku telah lulus Sekolah Menengah Atas dan mendapatkan beasiswa dari sebuah Universitas di daerahku, sementara Nashir masih kelas dua Sekolah Menengah Atas.

Is, sudah beres persyaratan untuk kuliahnya?” tanya Bapak suatu malam.
Belum, Pak."
Lah ... kenapa? Segeralah ini kesempatan, Is!
Is adalah panggilan kedua orang tuaku, mungkin mengambil ujung dari namaku Balqis Shaliha.
Tapi Pak, yang beasiswa kan biaya ke dalam, soal kebutuhan yang lain, buku segala macam tetap kita juga.
Iya tidak apa, Bapak akan berusaha. Bapak juga sekarang mengambil tanah Pak Kades untuk diurus.” Kata Bapak dengan binar penuh semangat.
Tapi dengan begitu Bapak akan makin Capek,
Ya tidak apa-apa, itu kewajiban Bapak mengantarkan kalian ke gerbang keberhasilan.
“Tapi Nashir juga banyak membutuhkan biaya, Pak.”
“Tugas kalian itu, belajar dan sekolah setinggi-tingginya bukan memikirkan biaya, hal itu kewajiban Bapak!” suara Bapak meninggi.
Kalau sudah begitu, aku tak berani lagi menentang Bapak.
Iya Teh, sayang banget kalau melewatkan kesempatan ini. Kalau perlu Nashir akan bekerja untuk membantu biaya kuliah Teteh.” Sambung Nashir.
Ngomong apa kamu?” bentak Bapak.
Kami tak lagi bicara, takut bila Bapak marah. Ibu tak pernah ikut bicara beliau hanya manut kata Bapak.

   Ku usahakan belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa menyelesaikannya lebih cepat. Jika nilai Ip ku bagus aku bisa mengambil sistem kredit semester dengan maksimal.
Pernah suatu hari aku kebingungan diharuskan mengerjakan tugas di warnet, kalau orang mampu tak akan bingung, tapi aku? Di kantong baju hanya terselip uang dua ribu rupiah untuk ongkos pulang. Akhirnya aku duduk dengan kebingungan di halaman kampus, ketika ada teman yang memberi tahu ada yang mencariku, dia menungguku di pinggir jalan katanya. Walau bertanya-tanya siapa yang mencariku. Aku mangkah juga ke arah yang ditunjukan. Di pinggir jalan dekat gerbang kampus kulihat seoran pemuda membelakangiku dengan ciri-ciri yang disebutkan. Saat dia menoleh, masya Allah, Nashir! Pakaiannya penuh tanah dan semen kotor sekali.

Adek, kamu kenapa pakai buju begini, mana seragamnya?
Stttt ... ada job Teh, aku terpaksa bolos hanya dua hari tawaran ngecor atap gedung,” katanya sambil tersenyum.
Ya ampuuun ... Adek! Kenapa harus begini?” bibirku menggumam sambil membersihkan pundaknya yang kotor.
Sudahlah, Teh! Aku ini laki-laki yang kuat, dan tadi aku mendapatkan upah, mungkin Teteh butuh untuk poto copy atau apa saja ... nih!” katanya sambil memberikan uang lima puluh ribu rupiah.
Aku tak tahan melihatnya, air mata pun luruh, kupeluk adikku aatu-satunya.
Husst ... jangan peluk-peluk Teh, nanti teman-teman teteh bingung lihatnya. Sudah ambil uangnya aku mau kembali kerja, awas jangan bilang-bilang Bapak sama Ibu, ini rahasia kita,” kata Nashir sambil mengedipkan mata, menggodaku yang masih terisak.
Tapi jangan semua, Dek! Teteh hanya butuh sepuluh ribu, lagian kamu juga butuh uang ini.

Selebihnya teteh simpan buat kebutuhan yang lain, besok lusa Teteh pasti ada tugas lagi. Aku masih menyimpan sepuluh ribu,” katanya sambil mengacungkan uang dan pergi begitu saja.
Ya Tuhaaaan ... bahagia bercampur sedih menggunung di hati, sambil menuju warnet aku terus mengingat sosok Adikku yang kumal dan kotor, kasihan banget batinku.
Sering ia membantu keuangan untuk kebutuhan kuliahku.

   Suatu malam saat aku dan Nashir sedang belajar, Ibu menghampiri kami.
Nashir, tadi ada wali kelas kamu kesini, untung Bapakmu sedang di sawah. Beliau bertanya kenapa kamu sering bolos? Padahal sebentar lagi UN,” kata Ibu setengah berbisik, takut kedengaran Bapak pastinya.
Ibu tenang saja, Nashir tetap belajar kok, dan in sya Allah tak akan bolos lagi ya,” bujuk Nashir sambil menempelkan tangan Ibu di pipinya.
Manja!” kataku sambil menjitak pelan kepalanya, sengaja aku ingin mencairkan suasana.
Wey, bilang saja Teteh ngiri,” seloroh Nashir.

   Ibu pun tersenyum sambil mengusap kepala Nashir. Meski kami hidup serba kekurangan tapi rasa kebersamaan dan saling memiliki mampu menguatkan ikatan batin kami.

By : Nay Moza
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment