Tampan Tapi Jahat

Tampan Tapi Jahat

   Tidak pernah menyangka, Ditya bisa bersikap seperti itu. Berani menanggapi dengan kata-kata yang membuat Karan kaget. Ibu Hanny mencoba untuk memperingatkan, namun anak itu tidak menggubrisnya. Karena memang, sikap Karan sudah keterlaluan. Selain tidak punya rasa iba, dia juga tidak punya hati. Pak Rasyid dan Ibu Hanny dianggapnya kecil. Wajar saja Ditya terpicu kekesalannya. Bagaimanapun juga tidak terima orangtuanya diperlakukan seperti itu. Walaupun dia tahu tidak akan pernah bisa menang melawan Karan, namun setidaknya harus membela diri. Menyelamatkan kedua orangtua, dari sikap tak terpuji seperti tadi.


"Ouwhhh... kamu sekarang sudah berani melawan saya Ditya. Mulai mau jadi jagoan rupanya."
"Ditya hanya menghentikan sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan. Apa yang sudah Akang lakukan sama Papa, itu sudah keterlaluan."
"Ditya sudah, Nak. Jangan dilawan." Ibu Hanny mulai memperingatkan kembali.
"Cuma penasaran aja Ma, mengapa orang ini sekarang begitu jahat. Padahal dulu begitu baik."
"Semua ada masanya. Kita doakan saja semoga dia segera sadar. Bahwa apa yang sudah dilakukannya adalah dosa." Pak Rasyid menambahkan.

"Kang... ketahuilah. Apa yang sudah terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia, itu sudah takdir. Kalau semua itu Akang anggap sebuah kesialan, tentu saja salah besar. Karena Allah menciptakan masalah sudah dengan hikmah dan solusi yang terkandung di dalamnya. Tergantung kadar keimanan kita sejauh mana memikulnya."
"Berani menceramahi kamu, sudah soq pintar ya."

"Kang Karan lupa, Ditya bukannya beceramah. Hanya meng-copy paste apa yang sudah Akang ucapkan dulu sama Ditya. Semua kata-kata bijak yang dulu pernah dikatakan, Ditya serap dengan baik. Jadi... Di mana letak menceramahinya?"
"Sudahlah Ditya, percuma. Sebanyak apapun kita bicara, hatinya sudah terkunci. Karena pikirannya sudah diracuni dan dipengaruhi seseorang."

   Karan mengkerutkan dahinya. Yang diucapkan Pak Rasyid menyita pikirannya. Apa maksud dari perkataan itu. Kedua matanya kembali mendelik, sangat antagonis. Namun Pak Rasyid sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu.

"Maksud Pak Rasyid apa? Jangan sembarangan bicara ya Pak." Karan terlihat sangat marah.
"Saya kasihan sama kamu Karan. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosamu."
"Pak Rasyid belum menjawab pertanyaan saya. Mempengaruhi bagaimana? Siapa yang meracuni. Jelas itu fitnah. Tidak ada yang melakukan itu kepada saya."
"Maksud Papa apa ya? Ada orang yang membuat Kang Karan jadi seperti ini? Koq bisa Papa bicara seperti itu?" Ditya penasaran, ditatapnya sang Papa lekat-lekat.

"Suatu hari nanti, kamu akan tahu Ditya."

   Apa yang sudah terjadi tadi di rumah Pak Rasyid, Karan tidak mempedulikannya sama sekali. Ceramah dan perlawanan Ditya, dianggapnya angin lalu. Tidak perlu ada yang ditakuti atau dikhawatirkan. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan bisa berkutik. Selama hutang-hutang itu belum lunas, kebahagiaan tidak akan pernah menghampiri mereka. Yang penting, uang yang dulu sudah dia keluarkan begitu banyak, akan kembali perlahan-lahan.

   Apalagi saat ini dia punya rencana untuk menikah, perempuan yang dia incar adalah Khalwa. Apapun caranya, dia harus bisa mendapatkan perempuan itu. Apa yang sedang direncakan, jangan sampai terbongkar. Setelah nanti semuanya berhasil, barulah dia membuat Khalwa tak tahu lagi bagaimana caranya untuk tersenyum. Tentu saja dia tak boleh menunggu waktu lebih lama lagi. Secepatnya harus beraksi. Dan untuk mewujudkan mimpinya itu, Karan harus rajin menagih hutang kepada Pak Rasyid.

   Dia ingin di awal, terlihat baik dan meyakinkan di hadapan orangtua Khalwa. Untuk sementara waktu harus berjuang agar dia tidak terlihat miskin. Caranya dengan rajin masuk kantor dan terlihat sempurna di depan Khalwa. Jangan sampai gadis itu tahu, apa maksud dalam hatinya.

"Khalwa... Khalwa... aku yakin, sebentar lagi kamu akan bertekuk lutut di kakiku. Bukan karena aku cinta atau terpesona dengan kecantikanmu. Tapi cuma numpang hidup bahagia. Hahahaha." Tawa Karan demikian lepas di dalam kamarnya. Wajahnya memperlihatkan kepuasan.

   Namun beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja pikirannya melayang ke almarhumah istrinya. Vaela. Perempuan yang pernah dinikahinya selama kurang lebih enam tahun itu, menari-nari dalam pikirannya. Entah mengapa muncul begitu saja. Mengusik dan mengganggunya.

   Terlalu banyak kenangan bersama dia. Mulai dari pedekate sampai meninggal. Bahkan ketika perempuan itu belum putus dari cowoknya, dia rela menunggu. Pesona Vaela di matanya begitu kental. Kulitnya yang eksotik membuat Karan sangat tertarik. Kemandirian dan kedewasaan, menjadikannya mantap memilih perempuan itu dijadikan pasangan hidup.

   Perjuangannya untuk bisa diterima cintanya, tidaklah mudah. Setelah beberapa kali mengalami penolakan, namun pada akhirnya Vaela bertekuk lutut. Dan hal terindah yang pernah dilaluinya bersama Vaela adalah ketika acara reality show "Maukah kau menikah denganku" di pantai Sanur beberapa tahun lalu. Itu adalah hal teromantis yang pernah dilakukannya. Semua mata memandang, tertuju padanya dan Vaela. Hingga akhirnya dia pun sampai ke pelaminan.

   Namun keromantisan dan keindahan acara lamaran saat itu, tidak sebanding dengan pernikahan yang dilewatinya. Dia harus menerima kenyataan bahwa Vaela selamanya tidak akan pernah bisa hamil. Vonis mandul itu seakan-akan adalah hal buruk yang didapatkannya. Dan ujian tidak sampai di situ. Tumor dan lupus, adalah puncak dari segala derita dan malapetaka. Sampai akhirnya Vaela harus menemui ajalnya. Dan untuk hal itu, Karan harus bertahan dalam sabar dan ikhlas.

   Melupakan semua itu, tentu saja tidak mudah. Akan membekas sampai kapanpun. Perasaan cinta yang sudah terlanjur tercurah, tidak mudah berpindah dan berganti kepada cinta yang lain. Terlalu sulit untuk dilepaskan, walaupun Vaela sudah tiada.

"Kang... Terima kasih atas cinta yang telah diberikan. Ketulusan dan kemuliaanmu adalah harta, perisai dunia yang akan aku bawa ke alam akhirat."

   Entahlah. Di sekitar kamarnya, tiba-tiba saja Karan mendengar suara perempuan berbicara. Suara jernih dan lembut. Persis seperti suara Vaela. Dan tentu saja itu memang suaranya.

"Tapi aku sedih, sekarang akang berubah jadi jahat. Tidak seperti dulu. Kenapa Kang?"
Suara itu tidak berwujud, terdengar jelas di telinganya. Celingak-celinguk ke sekitar kamar, tapi tidak ada wujudnya.
"Aku bukannya keberatan bila akang menikah lagi. Tapi caranya jangan seperti itu. Cintai wanita itu, sama seperti akang mencintaiku dulu. Jangan sakiti hatinya. Perempuan itu lemah, jangan akang lukai dengan nafsu. Aku mohon."

   Bergema lagi, terdengar lagi. Karan jadi bingung sendiri. Suara Vaela jelas terdengar di sekitar kamarnya, tapi tidak berwujud. Ataukah ini hanya halusinasi saja? Karena mungkin hatinya saat ini tidak bersih. Punya rencana tidak baik untuk Khalwa.

"Pergi kamu! Kamu sudah mati. Jangan ganggu aku. Pergi!" Karan berteriak-teriak sendiri di dalam kamarnya. Gema suara almarhumah istrinya, terus terdengar.
"Kang Karan... kembalilah seperti dulu. Jangan sakiti Mama, Papa dan Ditya lagi. Aku sedih."

"Pergi aku bilang! Pergi!" Teriakan Karan terdengar sampai ke kamar Pak Graha dan ibu Garneta. Keduanya langsung menghampiri kamar Karan, mengetuk pintu.
"Karan... Nak. Ada apa? Kenapa berteriak-teriak. Karan." Pak Graha terlihat cemas.
"Buka saja pintunya Pa." Saran Bu Garneta kemudian.

   Dan setelah itu, Pak Graha pun mencoba untuk membuka pintu kamar putranya. Alhamdulillah tidak dikunci. Langsung menghampiri Karan yang sedang duduk di ujung tempat tidur dengan telinga yang ditutup.

"Astagfirullahaladzim, Nak. Ada apa?"
"Apa yang sudah terjadi. Kamu bermimpi?" Karan tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya.

selesai ...
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment