Aku Turut Bahagia

Aku Turut Bahagia

   Tuhan, terimakasih telah mengijinkan langit menangis pada bumi. Memberiku kesempatan sekali lagi untuk memeluknya. Membisikan sebuah kata mantra ajaib. Aku membatin.

"Lepaskan, Nay!"
"Hempaskan semua beban!"
"Tak mengapa menggila untuk hari ini!"
"Sambutlah esok hari dengan tersenyum!"

   Seakan hujan sungguh memahami dan ikut merasakan duka yang kini berselimut dalam relung kalbu.
Sore itu aku sangat menikmati guyuran rintik air yang berturun dari langit sana. Entah karena ingin melampiaskan segala penat yang bersarang atau sekedar mengobati kerinduanku pada masa kecil dulu.

   Dear, kalian juga pernah kan saat-saat tertentu merindukan ingin kembali ke masa kecil dulu? Di mana pemikiranmu masih sangat polos dan tidak dipusingkan dengan urusan orang dewasa.
Aku ingin kembali ke masa itu.
Mungkin logikaku sedang tidak waras. Berharap waktu kembali merangkak mundur dan berhenti berputar di masa yang seperti aku inginkan.

    Sebulan lagi pernikahan itu akan digelar dengan konsep pernikahan yang telah dirancang dengan matang, hajatan ala kehidupan di kampung. Mulai dari dekorasi, baju pengantin, makanan suguhan, hiburan organ tunggal, serta printilan-printilan kecil pun tidak lupa dipersiapkan. Pesta sehari semalam, tetapi praktek kesibukannya bisa seminggu sebelum dan seusai acara.
Hari-hari aku disibukkan dengan acara mengurus dokumen persyaratan nikah seperti yang diminta oleh pihak KUA. Tepatnya membantu kakak.

"Wah, calon suaminya ganteng banget,"
ucap seorang gadis belia yang tak sengaja melewati kami. Bukan ucapan langsung tertuju padaku, tapi semacam gumaman yang bisa kudengar walau lirih.
Aku mengulum senyum. Melirik seorang lelaki berbadan kekar di sebelahku.

"Kakak juga dengar itu, kan?" selorohku.
"Iya."
Hari ini untuk pertama kalinya setelah perkenalanku dengannya setahun yang lalu, aku melihat Kakak tersenyum bahagia.
Senyum seorang pangeran yang menanti hari pernikahannya dengan sang puteri pujaan hati.
Seorang petugas berseragam dinas lengkap memanggil kami.

"Kak, itu disuruh masuk?" ingatku padanya.
"Kamu tunggu sini, Nay. Ini cuma sebentar kok, nyerahin kekurangan berkas doang."
Aku mengangguk dan sedetik kemudian Kakak masuk ke ruangan mengikuti petugas yang memanggilnya tadi.
Di kursi besi yang berderet rapi ini aku duduk, sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa dijangkau mata. Banyak sekali orang-orang berdatangan ke sini. Walaupun tujuannya tak semua sama. Ada yang mau mengurus surat nikah, akte kelahiran, surat pindah domisili, atau urusan yang lain. Karena memang gedung di sini letaknya berdekatan, terhubung satu sama lain.

Tak berselang lama Kakak keluar dari sebuah ruangan.
"Ayo, Nay kita pulang?" ajaknya padaku.
"Memang udah selesai, Kak?"
"Kalau belum, ngapain juga Kakak ngajakin kamu pulang?" jawabnya sambil mengelus pucuk kepalaku. Sedikit mengacak rambutku juga.
"He...he...he. Maaf!" Aku merajuk padanya.
Aku terus saja mengekor di belakang Kakak menuju tempat parkiran. Sampai ia menemukan motor dan menyalakan mesinnya.
Tak ada pembicaraan. Sepi.
Kami menyusuri jalan yang lumayan lengang menuju arah rumah. Menikmati hembusan angin, deru suara kendaraan lain. Dan aku merasakan dugup yang berdetak semakin menghebat saat berada di dekat kakak.
Oh, Tuhan.
Kami mampir pada sebuah bangunan kecil tepat berada di ujung jalan sebelum persimpangan. Kakak bilang warung bakso ini belum lama buka, dan rasa baksonya top markotop. Juara.

 
"Nay, kita makan dulu ya?" ajaknya sembari menarik lenganku.
"Boleh, Kak. Kebetulan kupu-kupu di perutku sudah pada berterbangan." sahutku.

Kami duduk di bangku paling pojok yang menghadap langsung ke arah jalan raya.
"Mas, Mbak mau pesan apa?" tanya seorang lelaki paruh baya pada kami.
"Nay, kamu mau makan apa?"
"Seperti biasa, Kak."
"Hhmmmm." Terdengar Kakak bergumam sendiri sembari tangannya sibuk membolak-balikan buku daftar menu. Warung ini memang menyiapkan beragam menu bakso dan bakmi dengan toping yang berbeda.

"Seporsi bakso jamur tanpa tambahan msg dan satunya bakso special ya, Pak?" pinta kakak pada bapak penjualnya.
"Minumnya?" Beliau kembali bertanya.
"Teh tawar hangat satu dan es teh satu." sahut kakak kemudian.
"Mohon sabar menunggu." Kemudian beliau pamit.

   Di sela menunggu pesanan datang, aku mengamati keadaan sekitar. Warung ini terkesan unik dengan beberapa pajangan ornamen yang asli terbuat dari bambu. Ada tirai, miniatur perahu, anyaman dari bambu yang dipigura dan dicat menarik. Serta ada beberapa kerajinan tangan lainnya.

"Kak?" Aku mencoba membuka obrolan.
"Kenapa, Nay?" Melirik ke arahku.
"Apa Kakak bahagia akan segera menikah?"
"Tentu saja. Bukankah menikah dengan seseorang yang dicintainya itu merupakan harapan semua orang," jelasnya dengan binar kebahagiaan.
Dapat kulihat dari sorot manik matanya. Ada cahaya bahagia terpancar di sana.
"Apa kamu tidak bahagia, Nay?" tanya Kakak kembali.
"A...ku tentu saja bahagia, Kak," sergahku dengan gelagapan, suaraku bergetar. Bahuku ikut berguncang hebat.
"Tuhan, tolong sembunyikan perasaan yang sebenarnya kurasai di tempat yang terdalam, " desisku lirih.

Akirnya pesanan kami datang.
Benar kata Kakak, aroma kuah bakso ini sangat menggoda. Pantas saja tempat ini selalu rame dengan pengunjung yang datang silih berganti.
Tempat, rasa, dan harganya sangatlah sepadan. Memuaskan pelanggan.

Sebulan sudah berlalu dan hari yang dinantikan tiba.
    Dekorasi pelaminan terlihat sangat indah. Di sekelilingnya bermacam bunga tersemat di sana, untaian kain warna-warni serta lampu kerlap-kerlip yang terpasang rapi. Di area depan tertata beberapa tanaman yang ada dalam pot, semakin menambah suasana menjadi adem. Sedap dipandang mata.
Dari kejauhan aku melihat Kakak duduk dipelaminan bersanding dengan pujaan hatinya. Mereka nampak sangat bahagia, berkali-kali melempar senyum kepada keluarga, kerabat, dan para tamu undangan. Tak lupa mereka tujukan kepadaku.

   Aku di sini. Duduk di kursi plastik warna hijau tua. Mencoba melempar senyum ke arah mereka. Walaupun jantungku rasanya seperti terhunjam belati ribuan kali. Sakit. Sungguh sakit sekali.
Kakak adalah orang yang sangat aku cintai, dan kini dia telah sah menjadi milik orang lain. Ironisnya aku turut serta membantu menyiapkan segala keperluan pernikahannya.
Ingatan itu masih terasa segar terngiang di benakku, saat aku mencoba mengutarakan perasaan yang selami ini kupendam dalam hati.

"Kak, aku mencintaimu. Aku ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu," ucapku suatu senja saat kami duduk di pinggiran pantai.
"Tapi, aku tidak bisa, Nay?" selanya.
"Kenapa?"
"Kini hatiku sudah kutitipkan pada orang lain," jawabnya dengan wajah sedikit menunduk.
"Siapa?"
"Ama."
"Gadis dari desa sebelah itu?" Manik mataku membulat.

   Kakak hanya mengangguk kecil. Mungkin merasa bersalah telah merobek hati sesorang.
Ama adalah gadis pindahan dari luar pulau yang baru beberapa tahun menetap di pesisir pantai ini. Sedangkan aku dan Kakak berasal dari daerah yang sama, walaupun berlainan desa.
Perkenalanku dengan Kakak mungkin bisa dibilang tanpa disengaja. Saat itu motorku sedang mogok di tengah jalan, kebetulan kakak lewat. Jadi dia menolongku mengecek motor milikku.
Sejak saat itu kami semakin dekat dan aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Kakak.

   Tepukan seorang teman yang mendarat di pundakku membuyarkan semua lamunanku. Memaksaku kembali menikmati kenyataan yang tersaji di hadapanku kini.
Jalan hidup memang tak selamnya mulus untuk dilalui. Begitu pun dengan takdir yang selamanya tak selalu berpihak pada kita.
Kuseret langkah kakiku menuju altar pelaminan dengan perasaan yang entah aku sendiri tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata.

"Selamat ya, Kak atas pernikahan kalian. Semoga langgeng sampai maut memisahkan. Aku turut bahagia." Kuulurkan tangan pada ke dua mempelai secara bergantian.
"Makasih, Nay. Semoga kamu segera menemukan seseorang yang lebih baik dariku," bisiknya di telingaku.
Seketika itu bertambahlah runtuh duniaku.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment