Wanita Dalam Kerapuhan

Wanita Dalam Kerapuhan

   Di sana, di belahan bumi ribuan kilo meter dari tempatku berdiri, dia hidup dalam kesepian yang nyata. Bosan, lelah, kadang merasa tak berguna.
Hingga kami dipertemukan dalam sebuah takdir yang menyatukan secara perlahan. Dari perkenalan singkat di sebuah media sosial.
Kebosanannya, terlihat jelas dari setiap kata dalam statusnya.

   [Hei ...] tulisku di inbox, sesaat setelah dia mengungkapkan kata lelah dalam status hari ini.
[Hei juga] setelah beberapa menit dia membalas.
[Lagi ngapain?] Aku membalas lagi.
[Nggak ngapa-ngapain ...] jawabnya.
[Oh, kirain lagi chating :v ]
[Haha, iyalah lagi chating]

   Tadinya cuma sebatas itu. Tapi seiring berjalannya waktu, percakapannya mulai semakin menggebu. Mulai dari ungkapan perasaan, hingga pemberian nama panggilan.

[Lagi apa, A'?] tanyanya setiap kali melihat greenlight-ku menyala.
[Makan siang, Sayang. Kamu?]
[Baru selesai beresin rumah.]

   Dia, hidup dengan menjalani aktivitas yang sama setiap hari. Memasak, mencuci piring, mencuci baju, lalu melipat pakaian yang kering. Hanya itu yang dikerjakan gadisku sepanjang waktu.






[Memang setiap hari kerjanya di rumah aja?]
[Udah beberapa bulan nganggur, A']
[Nggak pengen kerja?]
[Pengen sih, tapi mau kerja apa? Nggak boleh juga sama ayah]
[Oh ... jadi nunggu ada yang lamar aja ya? :v]
[Haha, enggak A' ... tapi memang belum ada kerjaan ...]
[Kalo dikerjain mau nggak?]
[Ih .. Aa' mah ...!]

   Aku tertawa, di sana mungkin dia sedang tertawa juga.
Kami begitu dekat, hingga kadang kami melakukan chat yang tidak sepantasnya. Berkali-kali, hingga akhirnya menjadi kebiasaan yang rutin dilakukan.

[A' ... aku kangen ...] keluhnya jika aku mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan.
[Hmm ...]
[Aa sering sibuk ...]
[Ya Aa kan sambil kerja, Sayang. Online nggak bisa seharian ...]
[Iya tau. Makanya kalo online waktunya jangan diabisin buat bales komen sana-sini ...]
[Hmm ...]
[Kangen A ... aku bingung mau ngabisin waktu buat apa lagi ...]
[Coba main keluar.]
[Nggak punya temen, A ...]
[Cari temen lah, Sayang.]
[Maunya ditemenin Aa' ..]
[Wah, nakal!]
[Hihihi ...]

   Kami bicara, kami tertawa, lalu saling mengungkapkan asa. Aku membuat kedua pipinya dipenuhi rona, sedang dia membuatku diselimuti bahagia. Sejenak, terusir rasa jenuh dari kehidupan kami berdua.

[A, aku kangen ...]

   Berkali ia mengungkapkan keluhan yang sama. Kesepian, dan rasa bosan berkepanjangan. Lalu mengirim puluhan pesan.
Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala tiap kali dia bercerita tentang keluarganya. Tentang sang ayah yang selalu bekerja. Sementara kakak-kakaknya tinggal di kota yang berbeda.
Lalu chatnya mulai sedikit mengganggu pekerjaanku. Bahkan kadang terlalu mengganggu sampai aku harus mematikan data ponselku.

[Aa' ... akhir-akhir ini sibuk melulu?]
[Iya, Sayang. Banyak kerjaan]
[Aku kangen ...]
[Aa' juga]

   Lalu kembali kami melakukan chat yang tidak semestinya. Berhenti setelah terdengar kokok ayam di pagi hari.
Dia, kini telah menjelma menyerupai rutinitas dalam hari-hari. Perlahan rona dan detak yanh menggila kembali normal. Bahkan nyaris menghilang, tak ada bedanya dengan rasa sepi.

Datar. Tanpa rasa.

[Aa' ... aku kangen]
[Entar setelah ketemu, Aa buat nggak bosen lagi] balasku suatu kali, setelah chatnya kadang tak kubalas sama sekali.
[Mau ketemu?] Dia mengulang.
[Ya, Sayang. Kamu nggak senang?]

Dia tak membalas, lama.

[Love you, A' ...] kuterima jawabnya.

Jawaban yang ambigu.
Aku terdiam menatap layar. Lalu saat greenlight-nya menghilang, terukir senyum di bibirku.

   Jam enam. Waktu yang olehnya dianggap sebagai jam sibuk melakukan aktivitas di pagi hari hingga tak sempat membuka WA. Jadi jangan mengirim WA atau menelepon di jam itu.

Tapi kali ini sengaja aku meneleponnya.

"Halo?" Terdengar sahutan setelah beberapa lama telepon dibiarkan.
Suara serak khas laki-laki yang baru terjaga dari mimpi.
"Sayang?" Aku bertanya.
"Siapa nih?!" Suara laki-laki itu meninggi.
"Sayang?" Aku bertanya lagi.
"Sialan!" Makinya.
"Sayang?"
"Woi, setan! Jangan ganggu bini orang, paham?!"

Terdengar sambungan telepon diputus. Lalu foto WA-nya yang tak lagi terlihat.
Aku meletakkan hape dan kembali tidur.

[Aa' ...]
[Aa' ... ini aku, Maya!]
[A ... aku sengaja bikin akun baru. Aku cuma mau bilang maaf karena nggak pernah ngomong jujur kalo aku udah menikah ... maaf A' ...]
[Bukan aku yang block WA dan akun fb Aa' ... tapi si ayah, suamiku ... maaf ya A']
[Kalo Aa' sayang aku ... tolong balas A ...aku sayang banget sama Aa' ...]
[Aku kangen chat sama Aa' ... aku kangen banget ... tolong bales A ...]





   Hanya kubaca. Tanpa berniat membalasnya.
Karena dari awal aku sudah menyadari. Baginya aku hanyalah lelaki pengusir bosan saat suaminya pergi, saat merasa batinnya tak lagi dinafkahi.
Sementara bagiku, dia hanya salah satu wanita pelampiasan.

[Lagi ngapain, Sayang?]

Aku bertanya, pada media pesan di akun wanita yang berbeda.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment