Jalan Veteran

Jalan Veteran

   Ini kedua kalinya, kulihat dia duduk di bawah beringin tempat orang-orang berteduh. Matanya menerawang kosong. Sebelah kakinya menendang-nendang angin. Kalau seperti kemaren, dia akan pergi setelah tengah hari. Semoga saja tidak. Seharusnya dia sekolah sekarang.
Begitu selesai kucuci mangkok bekas pelanggan yang baru saja pergi, kubuat satu porsi lagi. Langkahku mantap mendekatinya. Dia memang tidak seperti gelandangan kelaparan. Hanya saja, basa-basi kadang diperlukan sesuatu untuk mencairkan suasana, semangkok bakso ini misalnya.

"Nih makan. Kayaknya kamu lapar." Aku duduk di sisinya. Dia melirik sekilas.
"Aku tidak lapar." Kembali matanya menerawang ke depan. Sesuatu terasa begitu berat, dan harus dia pikul sendirian.
"Bakso ini dibuat dengan cinta lho. Setiap bumbu dengan takaran yang masuk adonan dirapal dengan doa. Semoga bisa jadi pengenyang perut-perut yang kelaparan. Sayang sekali kalau harus dibuang. Rejeki kadang tidak mengenal kesempatan kedua."
Seperti dugaanku. Dia menoleh. Bukan padaku. Tapi pada semangkok bakso yang masih kupegang.
"Sepertinya tidak enak."

   Entah kenapa aku malah tertawa. Adonan yang kubentuk satu-satu, dengan bumbu yang kurasa paling pas, dengan takaran yang tidak berani kuubah, setelah melalui uji coba dan akhirnya kuabadikan dalam jurnal, kini hanya dianggap tidak enak oleh anak baru gede dengan seragam putih merah yang masih melekat di tubuhnya.
Sepasang mata itu menatapku heran. Tadinya kupikir akan menemukan tatapan sendu, khas anak ngambek yang baru dimarahin guru atau orangtuanya. Sehingga dia memilih kabur dan bolos sekolah. Manik matanya berwarna gelap. Tatapannya tajam. Dia pasti bukan anak yang mau disebut anak kecil. Seperti Shiva, tokoh kartun di salah satu tv swasta yang menemaniku setiap pagi. Saat menyiapkan gerobak.


"Jangan lihat tampilannya. Kakak bukan chef. Tapi coba dulu. Kalau mau nambah juga boleh."
Dahinya berkerut. Satu tangannya yang mengenakan jam tangan warna hitam itu meraih mangkok dari tanganku. Bukan jam tangan murahan layaknya anak sd lainnya. Bahkan mungkin seharga dengan bakso sekalian gerobak yang kupunya.
"Namamu siapa?" tanyanya begitu memasukan bulatan pertama ke mulut.
Sepertinya dia tidak peduli kalau aku beberapa tahun lebih tua darinya.
"Kara. Panggil aku Kara." Tidak mungkin kutambahkan Kak di depan namaku. Meskipun dia anak-anak, dia jelas menolak mengakui itu.
"Keenan. Panggil saja Ken." Suapan kedua.
Masih jam sepuluh pagi. Tidak seharusnya dia duduk di sini. Beberapa kali aku ingin bertanya, kenapa dia tidak sekolah. Namun urung. Melihat tatapannya tadi, kurasa dia bukan orang yang gegabah dalam mengambil keputusan.
"Enak juga. Boleh nambah?"
Akhirnya dia mengakui itu. Bakso buatanku enak. Kali ini dia mengikuti langkahku menuju gerobak tidak jauh dari tempatnya duduk tadi.
"Mau es degan?" Sambil kumasukan bulatan bakso ke mangkok, kulirik dia yang kini duduk di salah satu bangku plastik dan memperhatikanku.
"Boleh." Jawaban itu sekali lagi membuatku ingin tertawa. Dengan gayanya ini seharusnya dia bukan anak sd. Cara bicaranya juga sama seperti anak yang lebih tua darinya. Sepertinya dia terperangkap dalam tubuh anak-anak.
"Mas Dikin, es satu ya."
Penjual es kelapa muda yang lapaknya tepat di sampingku itu mengangguk sambil tersenyum. Dia meletakkan koran pagi yang baru dibaca. Entah koran tanggal berapa. Yang penting dia baca berita.

"Adekmu, Ra? Kenapa tidak sekolah?" Mas Dikin menatap heran padaku. Aku tersenyum, seandainya aku punya seorang adek.
Ken melengos. Jelas dia tidak sudi menjadi sodaraku. Ada rasa geli yang akhirnya membuatku benar-benar tertawa.
"Dia sakit Mas. Lagi dititipin emaknya, emaknya kerja," jawabku asal. Yang penting penjelasan itu akan membuat mas Dikin kembali ke lapaknya. Seperti dugaanku, bapak dua anak itu menjauh sambil mengangguk.
"Kenapa kamu tidak sekolah?"
Seharusnya pertanyaan itu untuknya. Dia yang jelas-jelas memakai seragam tapi terdampar di sini.
"Aku memang tidak sekolah."
Mulutnya terus mengunyah dan memperhatikanku.
"Kenapa?"
Seseorang datang dan mengacungkan jari manisnya. Lalu dia duduk di meja mas Dikin. Aku beranjak berdiri dan meletakkan gelas di kursi plastik yang tadi kududuki. Meracik semangkok bakso dengan tambahan tulang sapi yang sudah kurebus sedari malam tadi. Orang itu tampak puas saat aku meletakkan mangkok itu di hadapannya.
"Karena aku sudah lulus. Dan tak ada sekolah lagi setamat SMA," ujarku setelah kembali duduk di sampingnya.

   Dia menatapku ragu. Pasti. Aku sendiri kadang ragu saat melihat pantulan diriku dari dalam cermin. Posturku yang mungil dengan perawakan mini juga, dan wajah yang nggak berubah-rubah sedari kecil, membuatku sering dianggap anak SMP. Bahkan aku pernah diangkut salpol pp karena dianggap tidak sekolah, malah jualan. Padahal sekolah gratis. Makanya hal pertama yang paling takut ketinggalan adalah KTP. Kartu itu sebagai dewa penolongku saat aku dianggap belum cukup umur untuk masuk club malam sendirian. Dan itu selalu karena ulah ibu. Aku menggeleng kuat. Tidak baik mengingat ibu saat mencari rejeki seperti sekarang.
"Jadi kamu nggak lagi jagain gerobak ibumu, atau bapakmu?" Kini mangkok kedua sudah tandas, dan dia menyerahkannya padaku. Ganti gelas yang kupegang diraihnya.
"Ini gerobakku," senyumku bangga. Tidak ada yang lebih melegakan bagiku saat akhirnya bisa keluar dari rumah, dan berhenti bekerja dari bosku yang galaknya minta ampun. Bukan itu saja, dia sering menganggapku sampah. Melecehkanku dengan kata-katanya. Tapi dari sana aku mendapatkan pelajaran berharga ini. Menjadi penjual bakso. Setidaknya, aku lah sekarang bosnya.
Matanya mengerjap. Lalu kemudian satu senyumnya mengembang. Ganteng juga ini bocah.
"Salut," katanya kemudian.

"Kenapa kamu nggak sekolah? Sudah dua hari lagi." Kini gantian aku yang bertanya.
"Seminggu," ralatnya pelan. Senyum tadi langsung pudar. Dari sorot matanya aku tahu, dia takkan menjelaskan apa-apa.
Aku mengedikkan bahu dan mencuci mangkoknya.
"Besok aku ke sini lagi." Dia beranjak pergi. Meninggalkan gelasnya di atas gerobak. Langkahnya santai menjauh. Berarti dia berencana bolos lagi besok. Bocah ini tidak tahu, bagaimana susahnya orangtua cari uang untuk bayar sekolah.

By : Retno Nofianti
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment