Si Manis Yang Tidak Manis

SI MANIS YANG TIDAK MANIS

"Dok, kenapa sih, minum obatnya harus setiap hari?"Dokter Ridho tersenyum. Senyum manis yang membuatku ingin selalu datang ke klinik, meskipun tidak sakit.
"Kenapa memangnya? Ada kendala?" tanyanya ramah. Kalau ada pemilihan dokter teramah di kota ini, tanpa ragu tentu aku akan memilihnya.
"Tidak sih, Dok. Cuma bosen saja. Emang nggak bahaya ya, Dok? Katanya kalau kebanyakan minum obat, bisa merusak ginjal?"
sahutku sambil membetulkan kerudung yang sedikit berantakan.
Netra tajamnya menatapku sekilas. Bikin jantung dag dig dug tak karuan.

"Justru kalau gula darah Ibu tidak terkontrol, yang terancam bukan cuma ginjal, tapi juga otak, jantung, mata, anggota gerak dan hampir semuanya organ,"
ujarnya, tambah bikin jantung berdetak keras. Kali ini karena takut.
"Ngeri ... Kenapa bisa demikian, Dok?"
"Prosesnya rumit, Bu. Tapi intinya, kadar gula yang tinggi, menyebabkan kolesterol jahat lebih mudah menempel di pembuluh darah. Hal itu berisiko terjadi penyumbatan. Kalau penyumbatan di jantung, bisa jadi serangan jantung, di otak bisa terjadi stroke, di mata bisa terjadi kebutaan, demikian pula di organ-organ yang lain."


   Penjelasan dokter 35 tahun itu membuatku bergidik.
Aku didiagnosis menderita diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu. Syok sih awalnya. Karena memang saat itu tidak ada keluhan apa-apa, hanya badan terasa lemas dan mudah capek. Begitu cek up, ternyata gula darah tinggi. Untuk memastikan dokter menyarankan untuk periksa Hb A1C, pemeriksaan untuk mengetahui profil gula selama 3 bulan ke belakang. Dan hasilnya positif.
Sejak saat itu hidupku berubah. Makanan manis yang menjadi kesukaan, harus dihindari. Begitu pula minuman dan lain-lain yang ada bahan gulanya. Harus disingkirkan jauh-jauh. Belum lagi obat yang harus dikonsumsi setiap hari. Sungguh Berat, lebih berat dari rindunya Dilan.

"Begitu ya, Dok?" Dokter tinggi kurus itu mengangguk.
"Dok, tanya satu lagi. Tiap gula darah saya tinggi, kok rasanya badan lemas? Bukannya gula itu sumber tenaga ya?" Mumpung pasien lagi sepi, tanya-tanya sekalian. Biar bisa berlama-lama satu ruang dengan dokter ganteng.
"Lebih mudahnya gini, Bu. Anggap saja ibu punya beras segudang. Untuk jadi nasi harus dimasak dulu kan?" Aku mengangguk. Belum masuk sih, apa hubungan beras sama gula darah.
"Hampir sama kayak gula darah. Biar jadi tenaga dia harus diproses dulu. Yang memproses namanya insulin. Pada penderita diabetes, insulinnya tidak cukup. Kadang cukup, tapi tidak peka. Akhirnya gula darah cuma menumpuk di darah. Ibaratnya beras, dia cuma numpuk di gudang."
"Tidak peka?" Ah ... gagal fokus sama kata itu. Seperti dokter di hadapanku ini, ganteng tapi tidak peka.

"Iya, Bu ... insulinnya ada, tapi dia resisten, tidak peka, sehingga tidak bisa menyerap gula darah secara optimal."
"Ooo ..." jawabku melongo.
"Karena cuma menumpuk di darah, hanya sedikit yang diolah, energi yang dihasilkan pun cuma sedikit, akibat badan tetap lemes." Sedikit paham sekarang.
"Itu pula alasan mengapa penderita diabetes diharuskan mengkonsumsi obat tiap hari."

"Sebentar, Dok. Belum paham saya." Kali ini emang belum paham beneran.
"Ibu perlu makan tiap hari kan? Untuk mengolah tadi kita butuh insulin. Karena kita makan tiap hari, butuhnya insulin juga tiap hari. Sampai di sini mengerti?"
"Mengerti, Dok."
"Kebutuhan insulin bisa disuplai dari luar, lewat suntik insulin. Bisa juga dengan 'memaksa' organ penghasil insulin, pankreas, agar bekerja lebih giat. Perannya obat untuk yang kedua ini, Bu. Mengoptimalkan kerja pankreas."
"Paham, Dok. Berati memang harus tiap hari ya minum obatnya? Seumur hidup?"
"Boleh kalau mau pakai insulin, Ibu. Itu yang lebih dianjurkan."
"Disuntik tiap hari ya, Dok? Nggak ah, ngeri." Kali ini, dokter berhidung mancung itu tersenyum agak lebar, sampai terlihat gigi putihnya.
"Mengontrol gula darah wajib seumur hidup, tapi minum obatnya nanti ada penyesuaian." Dia melanjutkan penjelasannya.
"Maksudnya, Dok?"
"Mengatur pola makan dan olahraga, itu juga bagian dari pengobatan. Kalau dengan dosis minimal, gula darah sudah terkontrol, obat bisa coba dihentikan, dengan tetap mengatur pola makan dan aktivitas fisik."
"Tambah paham sekarang, Dok." Dokter Ridho menulis resep. Sejurus kemudian, menyerahkannya kepadaku.

"Obatnya ini rutin diminum ya, Bu!"
"Iya, Dok ... Masih belum boleh makan makanan manis ya, Dok?"
"Ibu tak perlu makan makanan manis, sudah manis kok." Waduh, kok ada yang melayang, ya? Dokter tampan itu bilang aku manis? Sepertinya butuh pegangan agar tidak melambung ke angkasa.
"Nek, sudah belum periksanya? Mona laper!" Suara cempreng bocah 5 tahun itu membuyarkan hayal.
Tanpa dosa, dia bergelayut manja di lengan.
"Oh ... iya, ini sudah selesai, kok. Dok, saya pamit dulu, ya. Makasih penjelasannya, sangat bermanfaat."
"Kalau ada yang kurang jelas bisa ditanyakan saat kontrol bulan depan."
"Iya, Dok. Makasih. Permisi. Assalamu'alaikum."
Aku pun meninggalkan klinik tersebut setelah menyelesaikan administrasi.
Previous
This is the oldest page

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment