Cinta Empat Musim

Cinta Empat Musim

   Beberapa hari tinggal di rumah Anna amat menyenangkan. Anak-anak yang lucu seakan menjadi penghibur atas luka yang perih ini. Aku mulai ikut mendengarkan saat anak-anak itu mengulang hafalan Qur'annya di rumah bersama Anna ataupun dengan Ali. Sungguh mereka adalah anak-anak yang jadi cahaya mata buat ayah ibunya. Anak-anak syurga.

empat musim

Seisi rumah ini seakan juga telah terbiasa menjadikan Qur'an sebagai satu-satunya musik kehidupan mereka. Dalam setiap kegiatan mereka tidak lepas dari Qur'an. Qur'an everyday everywhere, itu motto mereka. Jadi jangan kaget bila bertandang ke rumah ini. Disini tidak ada televisi apalagi musik. Anna saja memasak sambil mendengarkan Qur'an dari speaker portabel kecil di dapur. "Kalau tidak sambil begini, rasa masakanku kacau!" guraunya.

Mau tidak mau, aku pun mulai ikut terbiasa mendengar murattal Qur'an. Selama seminggu disini akhirnya aku hafal surat pembuka Qur'an, Al Fatiha. Semua itu dengan dibimbing guru kesayanganku, Athiyya yang berusia 8 tahun, dia yang dengan sabar mengajari setiap hari. Meskipun masih banyak yang harus dikoreksi dari sisi makhraj setidaknya sebagai pemula, ini adalah suatu pencapaian bersejarah buat kami berdua, Onkel Hans dan Athiyya.

"An, apakah tidak terlalu memaksakan bila anak sekecil ini kamu suruh menghafal Qur'an setebal itu?" tanyaku suatu pagi setelah Anna menemani empat orang anaknya menghafal.

"Justru saat masih kecil inilah, Hans, peluang terbesarnya. Saat pikiran mereka tidak banyak terkontaminasi hal-hal lain. Ini masa emas mereka. Aku tidak ingin terlewatkan masa ini untuk hal-hal lain. Kalau harus menunggu sampai nanti mereka besar, akan lebih sulit, Hans. Memang tidak mudah membiasakan hal ini. Tapi inilah indahnya menghidup-hidupkan Qur'an," terang Anna. Aku sangat tertarik akan penjelasan Anna. Dan mulai berfikir untuk lebih serius mempelajari Qur'an agar nanti anak-anakku juga menjadi anak-anak syurga seperti anak-anak Anna. Ibunya??? Semoga saja, tetap Andini...

Sesekali aku berjalan-jalan keluar rumah untuk menikmati alam yang masih asri dengan udara yang sejuk. Atau membantu Mak Tuwo Nur, kakak almarhum ibu Ali, menumbuk padi di lesung tua dekat lumbung padi sambil ditemani radio usang yang memutar rabab*. Suara alat musik rabab yang menyayat ditambah dendang si penyanyi yang membawa kaba* sering membuat perasaan terhanyut pada rindu yang belum pernah usai pada Andini.

Pernah sekali anak-anak Anna mengajak melihat acara baralek* saudara sepupu Ali. "Onkel Hans, nanti kalau Ongkel jadi marapulai* seperti uda Syamsul, Onkel Hans juga akan pakai baju adat seperti itu!" Sumayya menunjuk pada si pengantin pria yang tampak bahagia dan begitu gagah dengan pakaian adat Minang berwarna merah dan kuning keemasan dan sebilah keris terselip di sisi kiri badannya. Musik-musik tradisional dan modern menghentak bingar di keramaian acara itu. Tapi seramai-ramainya acara itu, lebih ramai lagi suara amak-amak* menggoda agar aku mau dijodohkan dengan anak gadis pingitannya di rumah gadang*. Walhasil, para gadis belia itu hanya tersipu-sipu malu menutupi wajah mereka dengan ujung jilbab gara-gara seloroh ibunya.

Hasan juga sering mengajak bermain ke pematang sawah melihat padi yang mulai menguning. Kami bersorak riuh sambil menarik tali orang-orangan sawah di dangau. Manggaro* kata Hasan. Setelah mengusir kawanan burung pipit yang rakus mencicipi padi tiada puasnya, tiga adik Hasan yang lain menyusul dengan bungkusan nasi lauk pauk, pisang goreng serta teh manis. Anak-anak ini sekalipun mereka terlahir di Indonesia, Anna sedikit banyak juga mengajarkan bahasa ibu kami pada mereka. Jadi komunikasi lumayan baik. Baru kali ini aku menikmati kehidupan seperti ini. Kehidupan yang sama sekali berbeda dengan yang biasa kujalani di Jerman. Kini aku bisa tertawa lepas dan menyimpan kepahitan jauh-jauh dari ingatan, sekalipun tidak seutuhnya.

Aku pun mulai terbiasa dengan masakan sumatera Barat yang terkenal dengan selera pedasnya. Tapi satu yang belum pernah kujumpai selama disini, adalah soto seperti masakan Andini. Aku pernah menanyakan pada Anna tentang soto, tapi dia menyodorkanku soto yang berbeda dari olahan tangan Andini. "Hmmm.... ini soto Padang, Hans!" kata Anna waktu aku bilang bukan soto seperti ini. Lalu soto apa yang dibuat Andini itu, tanyaku penasaran. Ada berapa jenis soto di Indonesia ini! Ya Tuhan, apa kabar gadis cantik itu sekarang, apakah ia masih ingat padaku, sesekali dia masih hadir disana, di alam mimpi.

Sayup-sayup azan Dzuhur berkumandang dari surau tak jauh dari rumah. Hasan, Yusuf dan Ali bergegas memenuhi panggilan suci menuju surau. Ali menggendong Yusuf yang masih berusia 4 tahun. Sementara aku mengekor mereka di belakang. Sesampainya disana, para jamaah sudah berdatangan. Segera sholat dzuhur dimulai. Aku duduk bersila dekat tiang di tepi teras surau. Hening suasana seketika ketika Datuk Kari Mudo memimpin sholat. Aku terus memperhatikan gerak gerik mereka sekaipun gerakan itu sudah di luar kepala rasanya untukku. Aku menghembus napas singkat dan penuh keterpaksaan lalu berbalik menghadap ke halaman surau yang asri ditumbuhi bunga-bunga liar. Tuhan... kapankah saat itu datang?
Pikiran ini melayang mencari-cari, apa yang menghalangiku untuk segera bersyahadat. Hingga sebuah tepukan mendarat di pundak.

"Jangan bersedih!" kata Ali yang sudah selesai sholat lalu duduk di sebelahku. "Hidayah itu tidak datang dengan sendirinya. Tetapi lewat pencarian panjang dan doa," dia diam sejenak. Matanya menerawang jauh ke masa silam. Dia mulai berkisah,

   Aku lahir dari keluarga yang taat. Tapi pergaulan masa muda yang tidak baik membuatku jauh dari agama. Saat aku ingin menikahi Anna, amak* dengan tegas melarang. Bukan cuma amak. Tapi juga mamak* Sutan Sati, termasuk ninik mamak* keluarga besar suku Jambak di Pasaman sana. Tapi Anna tetap pada pendiriannya. Apapun akan ia tempuh agar kami bisa menikah. Dan keputusan besar itupun Anna ambil. Anna masuk Islam. Meskipun itu pada awalnya ditentang Papa dan Mama. Tapi Anna tak bergeming.
Setelah pernikahan terlaksana, kami pun memutuskan tinggal di Jerman. Disanalah, cikal bakal kehidupan ruhiyah kami dibina. Berada jauh dari kampung halaman dan berada di lingkungan mayoritas non muslim seringkali membuat diri ini tidak nyaman. Hingga suatu saat aku ingin sekali mengunjungi masjid. Aku rindu suara adzan. Aku rindu sholat. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun meninggalkan sholat, di masjid Al Rahman, aku sholat.

"Sejak hari itu, aku berusaha kembali mencari hidayah. Mendatangi masjid sholat lima waktu bahkan saat salju tebal pun aku tempuh! Demi menebus dosa masa lalu. Bergaul dengan orang-orang sholih dan mengikuti kajian-kajian di masjid Al Rahman bersama Syekh Hassan. Ia banyak berjasa menuntunku dan Anna yang muallaf agar mampu kembali menegakkan kewajiban sebagai muslim. Bertemu kembali dengan jalan Tuhan itu adalah suatu karunia besar buat kami berdua. Nah... Hans. Sekarang giliranmu yang mencari jalan itu!" Ali kembali menepuk pundak dan beranjak bersama anak-anaknya menuju rumah. Aku tercenung memikirkan perkataan Ali hingga saat tidur malam tak terasa nyenyak lagi. Kemana akan dicari jalan Tuhan ini. Batin ini terasa perih.

Adzan shubuh baru saja berkumandang di pagi yang masih terselubung kabut tebal. Ali sudah berangkat menuju surau sementara Anna dan anak-anak sholat di rumah. Fajar mulai merekah menyemburkan warna emas kemerahan di ufuk timur di balik gunung Merapi yang tegak menjulang. Langit yang gelap berangsur digulung mentari yang bersinar teduh pagi ini.

Seperti biasa, setelah rutinitas ibadah selesai, Anna segera memulai hari seperti kebanyakan para ibu. Namun sebelum memasak, sudah pasti ia akan hidupkan speaker murottal di dapur. Kata pengantar sebelum bacaan Qur'an dimulai menyebutkan surat yang akan dibacakan oleh Syeikh Mishary Al Afasy adalah Surat Ar Rahman. Satu per persatu bacaan Qur'an menggema di ruangan dapur dan terdengar sampai ke kamarku. Kuraih Qur'an di atas meja dan mencari artinya.

Oh... Allah ampuni aku! 'Nikmat TuhanMu yang manakah yang engkau dustakan?' Ayat itu diulang-ulang hingga menyusup resap tembus ke setiap hembusan napas dan aliran darahku. Seketika lututku lemas dan bersujud. Allahu Akbar. Hanya itu yang mampu kuucap berulang-ulang sambil bersujud.

Batinku seperti diremas. Betapa selama ini keacuhanku pada Tuhan hanyalah kesombongan. Aku tak pantas untuk merasa sombong dan kini aku merasa begitu lemah dan berdosa. Betapa selama ini aku tidak bersyukur padaNya yang telah menjadikan diriku seperti sekarang. Keluarga, pendidikan tinggi, harta dan karir yang gemilang. Tapi nyatanya, itu semua semu. Aku hanya gelas kosong! Tanpa iman kita bukan siapa-siapa. Semua itu hanya karena ujianNya 14 tahun lalu dan aku marah kemudian meninggalkan Tuhan. Orang macam apa aku yang berani menuduh Tuhan telah merampas kebahagiaanku sementara kebahagiaan dunia ini hanyalah kiasan saja. Tak abadi. Aku begitu terguncang akan ayat yang begitu mengena ke hati ini. Dan berkali-kali kalimat, Fa bi Ayyi 'alaa irobbikuma tukadzdzibaan diulang. Aku makin tenggelam dalam sujud penyesalan. Tuhan....tuntun aku berada di jalanMu!

Setelah puas kutumpahkan tangis dalam sujud, aku mulai berdiri dan bergegas menuju ke ruang dapur menemui Anna dan Ali yang juga tengah berada disana dengan nafas terengah dan mata yang merah berkaca-kaca.

Cukup sudah pencarian ini! Aku akan akhiri pengembaraan mencari kedamaian yang kucari! Aku telah temukan sekeping puzzle yang hilang di tengah badai salju di depan St. Petrus Canisius 14 tahun lalu.

   Prosesi pengucapan syahadat tadi begitu bermakna. Suaraku bergetar saat Ustadz membingku mengucap 2 kalimat persaksian itu. Dengan dihadiri keluarga, Mak Tuwo Nur, Datuk Pandito Alam, Sutan Sati, Ustadz Faruq Mustofa, juga jamaah masjid sebelum iqamat sholat dzuhur tadi dilaksanakan. Ali yang mengatur semua keperluannya. Termasuk menghubungi Ustadz Faruq Mustofa yang bekerja di Depag. Airmataku bercucuran. Kata Ustadz kini aku bagai terlahir kembali, bersih tanpa dosa. Dan selanjutnya yang bertanggungjawab sepenuhnya atas pilihan hidup adalah diriku sendiri. Syurga dan neraka tergantung diriku. Petuah dan nasehat beliau berikutnya adalah agar aku senantiasa mempelajari Islam dan istiqomah di jalan Islam.

Yang jelas perasaan ku kini telah lega dan sangat bahagia menjadi bagian dari Islam. Keraguan akan Tuhan yang begitu lama menyelubungi batin yang kelam kini sirna berganti tekad membaja, aku akan berada di jalan ini hingga akhir hayat. Setelah itu kami pun melaksanakan sholat dzuhur berjamaah dan setelah selesai satu persatu jamaah pria datang memeluk mengucapkan selamat kepadaku.

Shubuh pertama yang khidmat membawa diri larut dalam cinta Tuhan yang kini erat mendekap. Aku bukan siapa-siapa. Hanya pengembara yang mencari pelabuhan terakhir. Lusuh masa lalu yang membawa diri kini terdampar di negeri orang. Tempat yang merenggut keraguan panjang menuju keyakinan. Yang jelas ini adalah awal baru sisi kehidupan seorang Hans Rietdorf.

Dengan selembar kertas bertuliskan ejaan Indonesia aku menghapal bacaan sholat, setelah sholat jamaah shubuh tadi usai. Hasan yang menulisnya semalam setelah isya. Ini adalah shubuh terindah pertama bagiku. Dengan duduk bersandar di tiang surau, mulutku terus komat kamit mengulang-ulang bacaan itu dalam hati.

Sutan Sati yang tadi tengah berdzikir kemudian menghampiriku. Dia menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat sebuah pondok pesantren. Pesantren Al Hikmah, Talu-Pasaman.

Andini

   Saat menyingkap tirai pagi ini, ada pemandangan indah lain yang sudah dibentangkan Tuhan di depan mata. Salju sudah hampir terkikis habis. Hanya sedikit yang terselip di ketiak dahan pohon. Dalam beberapa minggu cuaca di Leipzig akan mulai bersahabat. Angka di termoter akan mulai perlahan naik. Dalam beberapa minggu. Bumi Jerman akan kembali berwarna. Pohon-pohon ek, maple dan konifera akan mulai muncul tunas daun lagi. Rumput-rumput yang kering akan kembali hijau. Dimana-mana akan dijumpai orang-orang mulai menanam bunga. Semarak bunga di musim semi menemani hati yang setengah patah hati. Aku tersenyum getir.

Semilir angin dingin masih menyapa pagi ini saat melangkahkan kaki ke luar. Di atas sebuah bangku taman di Clara Zetkin Park aku duduk menikmati segelas kopi panas dan Dürum Donner*. Tiba-tiba Mas Bayu duduk ujung lain bangku taman ini.

"Sudaaaah..., jangan terlalu lama menjawab pertanyaanku tadi malam," ujarnya mengejutkan.

"Dari mana Mas tau aku disini?" aku bertanya sedikit heran atas kemunculannya.

"Aku nguntitin kamu dari tadi," dia tersenyum.

Aku cemberut mendengar jawabannya lalu mendehem. "Ehemm..hemm... harus sekarang ya?" kataku padanya sambil memiringkan kepala. Yang ditanya hanya mengebulkan asap rokok di udara.

"Kok pake nanya? Mau ngelak lagi? Sampai kapan menghindar? Lagipula apa ndak capek jadi jomblo terus?" cerocosnya.

"Aku jomblo bahagia kok! Mas Bayu tuh yang jomblo ngenes!" selorohku.

"Ayo dong, Din! Serius napa! Sekali ini aja!" gerutunya. "Apa kamu mencintai orang lain selain aku?" kali ini nada suaranya memang seperti orang serius.

Aku menutup buku, menyeruput kopi panas dan membiarkannya menyesap hingga basah tenggorokan dan aroma khasnya asyik bermain di hidung.

"Jadi berapa kali juga harus Dini bilang, Dini belum ingin membuka hati untuk hubungan seperti yang Mas Bayu inginkan," mataku menerawang jauh ke balik awan.

Mas Bayu memang secara fisik menarik. Banyak gadis-gadis cantik baik orang Indonesia maupun bule yang sudah dia kencani. Tapi tidak bagi seorang Andini. Wajah bukan segalanya untuk mencari kebahagiaan hubungan.

Ada beberapa hal darinya yang tidak masuk kriteriaku sebagai imam rumah tangga. Semalam saat dia kedua kali menyatakan perasaannya. Aku hanya diam lalu pergi meninggalkannya sendiri yang merokok di luar gedung Wohnung. Apa lagi alasanku untuk yang yang satu ini? Salah satunya, karena dia lalai perkara sholat! Salah keduanya yaitu, Rokok! Ho hoohooo..... apa kata Abi dan Ummi kalau pulang-pulang bawa calon suami model begini. Ini sih cari masalah, pikirku. Aku cari calon suami, bukan pacar, Mas Bayu!

"Sudah!!! Ga usah jadi melow melow hello kity gitu deh! Bunga tak sekuntum. Palingan ntar sore juga udah ada gantinya!" kataku berusaha merubah situasi hatinya.

"Thesisku sudah hampir rampung. Aku tidak ingin target-target hidupku berantakan. Lagipula aku lebih nyaman dengan Mas Bayu seperti sekarang ini. Sebagai teman. Mas Bayu akan cepat bosan dengan orang seperti Dini," ucapku padanya sambil berjalan menyusuri setapak taman mencari jalan pulang.

"Tapi aku cinta kamu, Andini!" Mas bayu meneriakkan kata-kata itu sementara aku berjalan menjauh. Aku hanya melambaikan tangan. Seketika teringat pesan Ummi beberapa hari lalu saat menelpon. 'Jangan salah memilih jodoh, nduk'. Doakan aku Umm, agar hati ini senantiasa sabar. Ada rasa pilu tiba-tiba menyeruak. Maafkan aku Mas, tak bisa memilihmu! Seruku dalam hati.

Andini....Andini.... dalam beberapa hal kamu memang beruntung. Sayang, sepertinya kamu kurang beruntung soal asmara. Fathir yang meninggalkan luka. Lalu Hans yang hilang, dan sekarang Bayu. Aku menghembus nafas perlahan sembari naik ke atas Strassenbahn yang datang. Akankah aku temukan pelabuhan cinta setelah berkali-kali terluka?

Di kepala sudah ku ancang-ancang agenda hari ini. Yang jelas, sekarang konsultasi thesis untuk yang terakhir kali. Selanjutnya setelah semua revisi selesai, waktunya mendaftar ujian thesis. Dan setelah ujian thesis rampung, aku harus memenuhi janjiku pada Profesor untuk membawa thesis ini sebagai penelitian lanjutan disertasi s3. Profesor Guttenberg sudah menyertakan aku dalam penelitian ini dan langsung memberi LoA. Yang perlu dilakukan adalah segera mengontak Refaratku* Kamilla Müller, agar mengizinkanku memasukkan
proposal s3 yang kini sedang tahap pengerjaan. Dan setelah semua rampung, saat libur musim panas nanti aku akan pulang ke pangkuan Abi dan Ummi. Pulang ke kampung halaman yang sudah lama memanggilku pulang.

Hari ini hari yang membahagiakan. Hari dimana perjuangan selama 24 bulan perkuliahan dan 6 bulan sekolah bahasa ditentukan. Rasa syukur yang tiada tara atas pencapaian ini. Disini tidak ada tradisi wisuda bertoga. Sangat santai dan minimalis. Berbeda saat zaman s1 dulu dimana setelah subuh kami sudah direpoti dengan pakaian kebaya, apalagi yang tidak berhijab, harus menyanggul rambut! Wow!!

Untuk acara wisuda ini, mahasiswa chemistry melakukan excursion, semacam studi banding ke sebuah industri obat dan vaksin milik pemerintah di Braunschweg. Setelah acara studi banding, baru di dalam aula besar yang disediakan, ketua program studi akan melakukan penyerahan ijazah secara simbolis. Itu dikarenakan penyerahan ijazah asli bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Dan kali ini aku juga bersyukur bahwa namaku kembali dipanggil kedepan oleh ketua program studi sebagai mahasiswa terbaik dan pengumuman proposal s3 yang diluluskan pihak penyandang beasiswa! Riuh tepuk tangan teman-teman seangkatan membuatku begitu terharu. Kalau saja Abi dan Ummi bisa kesini melihat saat yang membanggakan ini.

Setelah prosesi wisuda tadi selesai, acara dilanjutkan ke sebuah pabrik kopi yang sudah cukup tua dan produknya terkenal seantero Jerman, Tchibo Kaffee. Aku dan Ruth berjalan berdua menyusuri taman indah menuju lokasi pengolahan kopi di awal musim panas ini. Hingga tiba-tiba telpon Ruth berdering.

"Ja... hallo, ich bin Ruth."*

"Hallo Ruth, wie geht's? Ich bin Hans."* Mata biru Ruth terbelalak.

"Was? Hans?? Echt!!"* Aku sendiri ikut terkejut mendengar nama Hans disebut-sebut.

"Ja, das ist doch klar!!"*

"Hans! Ini benar kamu? Kemana saja kamu selama ini, hah?" Ruth terpekik kegirangan seperti tak percaya dengan siapa dia kini bicara. Matanya yang biru besar bersinar bahagia.
"Mein Gott! Wo bist du jetzt? Bist du noch in Indonesia?"* Ruth memberondongnya dengan pertanyaan. Sesekali tawa Ruth lepas berderai membuatku juga ikut tersenyum.

Ya. Hans. Lelaki bermata hijau yang masih sering menyapa lewat mimpiku. Dia yang selalu hadir tanpa diminta. Lelaki yang kini hilang entah dimana rimbanya di negaraku, Indonesia. Entah apa yang dilakukannya. Semenjak 6 bulan kepergiannya, kupikir lambat laun semua akan terlupakan dengan sendirinya. Nyatanya, aku salah besar. Justru bayangnya makin melekat di pelupuk mata. Berjilid-jilid sudah rindu ini aku bukukan dan rapi tersimpan disudut hati. Berharap tak seorangpun mengusiknya. Dan membiarkan diri ini menyembunyikan tabir rindu padanya. Tapi kini justru dia sendiri yang mengusik hatiku dan kembali menyulut kegelisahan seperti yang sudah-sudah. Ruth mengubah stelan speaker hapenya. Kini aku yang di samping Ruth juga bisa menyimak perbincangan mereka. Mendengar suara itu lagi. Ya Tuhan, aku bisa gila karena kegirangan.

"Aku dengar dari Anna, hari ini kamu wisuda. Karena itu aku menelponmu ingin mengucapkan selamat untuk boneka kelinciku, ich möchte dich auf deinen Abschluss gratulieren!"* Ruth tersipu atas ucapan selamat yang diberikan Hans padanya. O... iya. Boneka kelinci itu adalah panggilan Hans pada Ruth sewaktu Ruth kecil. Karena Ruth kecil hanya baru bisa tidur kalau sudah menggigit telinga boneka kelincinya.

"Ruth, apa Andini ada disana?" tanya Hans kemudian.

Deg!!! Jantungku terasa lepas saat Hans menyebut namaku.

"Ja. Dia disini di sebelahku, jantungnya sedang kembang kempis mendengar telponmu," Ruth menggodaku yang sibuk menyembunyikan rona merah di pipi. Aku mencubit lengan Ruth. Ruth mengaduh dan tertawa terbahak. Dia menang kali ini. Iya Ruth, kamu benar kali ini. Aku memang dikipasi angin rindu.
"Apa kamu mau bicara dengannya, Hans?" Hans terdiam.

Ruth menyodorkan hapenya padaku. Ia memberi isyarat lewat matanya agar aku mengangkat telpon dan bicara pada Hans. Ruth melotot saat aku menolak. Aku tertawa kecil dan mencoba menenangkan gejolak hati. Tanganku sedikit bergetar saat memegang hape itu.

"Ja, Hans. Das ist Andini," nadaku sedikit ragu berselimut malu.

"Andini, wie geht's dir?" sapa Hans. Suaranya juga bergetar. Ya Tuhan.... setelah beberapa bulan terpisah, hari ini aku kembali mendengar suara ini. Ada rindu yang kini berdesir lembut di nada suara kami tanpa disadari. Tak perlu dilafalkan 'aku rindu padamu'. Karena tanpa itu, kami berdua sudah tau debaran rindu yang tiba-tiba menyusupi hati.

"Alles gut, Hans" aku masih berusaha menetralisir gelombang-gelombang cinta yang mulai merambat cepat di udara awal musim panas yang hangat. Sehangat anggur cinta yang terperam lama hingga makin memabukkan saat diminum.

"Selamat atas keberhasilanmu. Tunggu aku enam bulan lagi!"

Tuut...tuuuttt... tuuuuttt.... telpon itu terputus. Aku dan Ruth hanya bisa saling berpandangan dengan yang baru saja kami dengar. Hans memintaku menunggunya 6 bulan lagi. Ada apa dengan 6 bulan lagi???

Bersambung......

Rabab: alat musik rebab
Kaba: cerita
Baralek: pesta
Marapulai: pengantin lelaki
Amak-amak: ibu-ibu
Rumah gadang: rumah adat Minangkabau
Manggaro: mengusir kawanan burung di sawah
Mamak: paman
Ninik mamak: orang yang dituakan dalam suatu suku
Dürum donner: makana khas Turki, tortilla isi daging dan sayur
Refarat: perwakilan
Maimbau: memanggil
Ja... hallo, ich bin Ruth: ya ini Ruth.
Hallo Ruth, wie geht's? Ich bin Hans: hallo Ruth, apa kabar. Ini aku , Hans
Was? Hans?? Echt!!: apa? Hans?? Bener!!
Mein Gott! Wo bist du jetzt? Bist du noch in Indonesia?: ya Tuhan! Dimana kamu tinggal sekarang? Apa kamu masih berada di Indonesia?
Ich möchte dich auf deinen Abschluss gratulieren: aku ingin memberi ucapan selamat atas kelulusanmu.
Next
This is the current newest page
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment