Perempuan Yang Merengut

PEREMPUAN YANG MERENGUT

Apa yang bisa kamu harapkan dari seorang istri gemuk yang bahkan bergerak sedikit saja, limbung. Naik tangga seperti habis naik pohon nangka. Lemah. Lesu !
"Mestinya sudah tahu bobotnya sekwintal, ya diet. Atur pola makan." Melengking suara Mama.
    Kalimat-kalimat serupa sering mendengung dikepala. Itu ucapan Mama hampir setiap kali kita bertemu. Lalu kekuatan apa yang kumiliki kalau sekedar lupa simpen kunci mobil, lupa meletakkan ATM, lupa mematikan lampu, mulut tipisnya mengeluarkan sumpah serapah yang menyakitkan. Perempuan itu memang memiliki lidah setajam pedang. Apa dayaku, Mama.........
    Bangun paginya disambut ART menyodorkan air hangat berikut obat diet yang Minggu terakhir ini rutin dia konsumsi. Wajahnya kembali merengut menatap 5 buah HP yg berjejer dihadapannya. 2 laptop yang tetap menyala meskipun dalam kondisi dia tertidur kelelahan. Wajahnya jauh berubah sekarang, layu dan selalu merengut.
    Nyaris tidak pernah terdengar suara melengking dari bibirnya menyanyikan lagu-lagu Nicky Astria, Nike Ardilla atau Tata Janeeta. Waktu siangnya dia benamkan dalam puluhan akun online shop !
Mobil mewahnya berjejer di garasi. Hampir 3 Milyar untuk empat kendaraan. Percepatannya dalam bisnis online memang Luar Biasa. Dalam tiga tahun saja perempuan itu sudah bisa mengumpulkan tujuh belas aset dengan nilai rata-rata semilyaran.


"Dan tugasmu mencuci mobil mewahnya?" Mama sinis menatapku. Lalu berjalan perlahan menatap photo-photo yang terpajang didinding, photo kami liburan di Luar Negri.

"Memang istrimu kaya raya, tapi kekayaannya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu saja," gumamnya tapi jelas kudengar. Mungkin dia melihat kehidupan besannya dengan mobil baru yang diberikan istriku, atau pengaduanku pada Mama tentang adik bungsunya yang bisa menyelesaikan S2 dengan biaya full. Bagaimanapun Mama pasti mengharapkan kebahagiaan aku putra nya. Dan hanya sedikit sekali beliau memberi perhatian atas menantunya,

"Pulang kerja itu mbo ya ganti baju dulu, baru kamu packing barang," Suara lembut Mama sore itu kepada istri sambil menikmati pijitanku di kakinya. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum tipis, kemudian melanjutkan packing barang untuk para Reseller. Seragam Kerja nya memang setiap hari ganti, karena sepulang kerja kantor, dia langsung menuju gudang untuk packing orderan via online. Magrib kurir expedisi akan menjemput kiriman. Diatas jam delapan malam, pengiriman ditangguhkan besok.
   Pendiam bukan tipikal nya, tapi sekarang dia lebih banyak diam. Selalu acuh dengan kehadiranku. Wajah tirus itu tidak pernah lagi tertawa terbahak-bahak menikmati ocehan lucu putra bungsu, hanya mencium, bicara basa-basi menggodanya lalu kembali terbenam dalam promosi-promosi online shopnya.
Dari matanya yang cekung dan menghitam, ku lihat kelelahan. Begadang setiap malam, bukan saja telah merenggut kecerahan wajahnya tetapi juga menambah bobot lemak di perutnya.
   Dia tidak lagi peduli secantik apa dia sekarang ! Jauh. Jauh sekali dengan karakternya dulu yang selalu ingin terlihat sempurna soal penampilan. Perawakannya yang tinggi, dengan kulit putih bersih, hanya tinggal pembungkus dan tidak lagi menarik dimataku. Maka demi menghilangkan jenuh, ku setir Alphard putih, membelah Bandung yang dingin, lalu melesat menuju Kota Lembang yang Romantis.
Baru saja aku menghentikan mobil di depan garasi, pintu depan terdengar dibuka kasar. Brak ! Hampir copot jantungku.

"Darimana kamu breng**k!!" Wajahnya tidak menakutkan, sisa kecantikannya masih nampak sedikit, tetapi kalau marah seperti orang kesurupan, menghantam apapun yang dia temukan. Aku mendengus, berniat berlalu meninggalkannya. Tapi tangan itu menarik bajuku, sobek. Memaksa membalikkan badan. Sebelum dia mengeluarkan bahasa-bahasa kasar seperti biasa ketika dia marah, ku dahului mendorong mukanya dengan kebosanan tingkat tinggi. Yah, aku bosan melihat wajah merengut itu.

"Eh breng**k daripada waktumu kamu habiskan jalan-jalan, kerja sanaaaaa! Kerja! Enak saja kamu menikmati kekayaanku dengan kemalasan! Kasih aku nafkah! Sekaya apapun istri, tetap wajib menerima nafkah dari suami!" Itu selalu kalimat yang dia luncurkan. Seolah aku pendosa dengan tidak memberinya kifayah, seolah dia lah yang berjasa atas semua harta yang diperolehnya. Padahal andilku sebagai suami sangatlah besar. Belum tentu dia kaya raya, jika aku tidak setiap waktu mendo'akannya, belum tentu juga dia bisa menembus surga dengan pahala-pahala dari hasil kerja kerasnya, jika aku suaminya tidak ridho atasnya.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment