Aku dan Facebook

Aku dan Facebook

    Sudah beberapa hari ini dia terbaring kritis di ranjang rumah sakit. Dokter memvonis bahwa esok hari kemungkinan besar dia tidak lagi eksis di dunia maya ini. Aku menatapnya sedih dari sisi ranjang. Airmata yang sejak tadi kutahan, akhirnya kali ini jatuh juga.

"Aku tau ini berat. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," katanya susah payah diantara rasa sakit yang entah bagaimana, bisa kurasakan dari sela jemarinya.
"Jika kamu tidak ada, lalu dengan siapa lagi akan kuhabiskan hari-hari?" ucapku bergetar.
"Masih ada banyak yang lain di dunia maya ini. Ada blog, wattpad ada plukme. Ah, tentang plukme. Kau kenal dia kan?" tanyanya dengan nada antusias yang dipaksakan. Aku mengangguk sambil menyedot ingus.



"Aku dengar dia romantis dan kaya. Kau bisa mendapat banyak uang darinya. Bukankah itu yang disukai wanita?" tanyanya sambil tersenyum. Mencoba menggoda. Aku menggeleng.

"Tidak, aku berbeda. Aku tidak seperti mereka," jawabku berbohong. Kenyataannya aku memang suka stalking plukme.
"Ayolah, Jangan menangis lagi," ujarnya sambil menguatkan genggaman.
"Kita akhiri hubungan kita dengan bahagia," lanjutnya lagi. Tapi aku tidak peduli.

"Kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama. Jika kau pergi tiba-tiba begini, mana sempat aku menyalin semua memori yang sudah kita lalui?" tanyaku penuh emosi. Dia menarik nafas perlahan.
"Kau tidak perlu menyalinnya. Bukankah itu bagus? Kau jadi bisa segera memulai memori baru bersama yang lain, dengan lebih mudah. Lalu melupakanku, juga dengan mudah,"
 Jawabannya justru membuat tangisku makin menjadi. Dia tampak bingung harus bicara apa lagi. Jadi dia hanya menguatkan genggaman, lalu menepuk nepuk tanganku pelan.

   Malam itu, aku pun tertidur diantara tangis. Masih di sisi ranjangnya.
Keesokan pagi, aku terbangun dengan kepala sedikit pening. Tapi pening itu hilang begitu saja ketika kudapati dia sudah tidak ada di atas ranjangnya. Buru-buru aku beranjak dan mencarinya di seluruh penjuru rumah sakit dengan perasaan kalut.

   Sesampainya di taman kecil di sisi rumah sakit, langkahku terhenti. Dia berdiri disana dengan wajah secerah matahari. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan wajah pucatnya tadi malam. Ia tersenyum sambil menyerahkan tiga tangkai bunga.
"Selamat pagi, Aida. Apa yang Anda pikirkan?"
Aku kehilangan kata-kata.

By : Aida AzZakiy
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment