Catatan Anak Pesantren

Catatan Anak Pesantren
Gara-Gara Jerawat

   Saat duduk di kelas 2 MTs wajahku mulai ditumbuhi jerawat. Tak tinggal diam, aku mencoba berbagai pembersih wajah hingga sabun khusus jerawat. Hasilnya nihil. Jerawat masih bertengger cantik.

anak pesantren

Tiara bilang masker tomat bisa menghilangkan jerawat. Kucoba cara ini. Seminggu kemudian, ibu mengomel karena stok tomat untuk membuat sambal telah habis. Hasilnya, jerawat masih survive.

Suatu hari saat bersih-bersih rumah aku menemukan majalah jadul. Di kolom ‘Tips & Trik’-nya tertulis sebuah judul yang menarik perhatian
Menghilangkan Jerawat secara Alami”, menggunakan ekstrak daun sirih. Patut dicoba pikirku.

Dengan semangat membara kuoleskan ekstrak daun sirih ke seluruh wajah. Adikku tergelak. Katanya wajahku mirip buto ijo, hijau semua.

Setelah satu bulan mencoba resep daun sirih, aku jera. Tak ada perubahan dengan wajahku, masih berjerawat. Begitu masuk pesantren ambisi untuk menaklukkan si jerawat terlupakan.

Berbeda denganku, Dijah, temanku di pesantren mempunyai wajah kinclong. Kulitnya putih bersih bebas jerawat.

Jah, kamu perawatan ya?” tanyaku kepo.
Engga ah ....” Dahinya berkerut
Trus, kulitmu kok mulus begitu?” cecarku
Oh, ini?” Tangannya menyentuh pipi lalu mengusap-usap lembut bak artis profesional.
Rahasianya cuma wudhu kok ...,” bisiknya.
Idih ....” Tiba-tiba aku mual. Dijah tertawa.

Pecakapan kami terhenti begitu ustadz Wildana memasuki kelas. 30 menit adalah waktu yang cukup panjang untuk bertahan mendengar pelajaran mantiq. Perlahan mataku menutup sedikit demi sedikit.

Keladi ... pati ... jerawat ... keladi ....

   Samar-samar kudengar ustadz menyebut-nyebut jerawat. Tak salah lagi! Rasa kantukku hilang seketika. Kata ustadz Wildana pati keladi (talas) bisa menghilangkan jerawat.

Mengetahui resep ini, aku seperti melihat cahaya dalam kegelapan. Seperti menemukan jarum yang hilang dari tumpukan jerami. Semangat untuk menaklukkan jerawat bangkit mengebu-gebu.

Usai muhadhoroh aku ke kamar Shofia hendak meminjam kerudung. Letaknya tidak jauh hanya jarak empat kamar. Ini enaknya tinggal di ma’had bisa ketemuan 24 jam.

Tumben maskeran,” kataku saat melihat wajah Shofia putih semua.
Ini masker keladi,” jawabnya pelan supaya maskernya tidak pecah.
Masker pati keladi? Resep dari ustadz Widana?” tebakku.
Shofia menangguk, “Mau?

Aku mengangguk cepat. Shofia memberi serbuk pati keladi cukup banyak kira-kira untuk dua minggu pemakaian.

Sesampainya di kamar langsung kubancur serbuk pati keladi dengan hati yang berbunga-bunga. Bye, bye jerawat.

Lagi ngapain, Cass?” Tanpa disadari Amelia sudah duduk di sampingku.
Buat masker.
Mau dong ....

Karena takut dikatain pelit, mau tidak mau aku membaginya. Setiap malam sebelum tidur aku dan Amelia memakai masker pati keladi. Di hari ke tujuh stok kami habis. Aku terlalu sungkan minta lagi ke Shofia.

Cass, buat masker sendiri yuk,” ajak Amelia. Malam ini kami tidak maskeran.
Keladinya dari mana? Lagian mau diparut pakek apa?” Aku pesimis.
Aku kemaren pas balik ke ma’had bawa parutan kelapa ibuku. Kita ngambil talasnya dari belakang klinik,” usul Amelia.

   Letak klinik pesantren memang berbatasan dengan lahan penduduk, hanya dipisahkan parit kecil. Lahan itu tidak begitu terurus. Hanya ditumbuhi rumput liar dan keladi.

Usai makan siang, dengan peralatan seadanya kami menjalankan misi, berburu keladi. Aku mencongkel umbi keladi menggunakan sepotong kayu kecil. Karena musim hujan, tanah menjadi lebih mudah dicongkel.

Pelan-pelan kutarik pelepah keladi supaya umbinya tidak tertinggal di tanah. Keladi itu belum berumbi hanya ada bonggolnya. Tidak ada akar rotan pun jadi. Kupotong bonggol keladi dengan pisau berkarat yang dibawa Amelia, entah didapatnya dari mana.

Setelah dirasa cukup, kami membersihkan umbi-umbi keladi, atau bonggol lebih tepatnya kemudian memarutnya. Hasil parutan keladi ditambahkan air kemudian diperas. Kukorbankan jilbab segi empat sebagai saringan. Hasil saringan keladi diendapkan dalam ember selama satu malam.

Setelah selesai menyaring, terasa ada kejanggalan. Tangan kami menjadi gatal seperti digigit ribuan semut. Semakin digaruk, semakin menjadi-jadi. Saat asyik menggaruk tangan terdengar sebuah suara.

Kalian ngapain? Apa itu?” Ustadzah Nirmala menunjuk ember berisi air perasan keladi, matanya menyelidik.
Anu ustadzah ... ini buat masker,” jawab Amelia gugup. Sedangkan aku berlindung di belakangnya. Takut.
Keladinya dapet darimana?” cecar ustadzah.
Dari belakang klinik, ustadzah,” jawab Amelia jujur.
Udah minta izin sama yang punya?

Amelia terdiam sejenak. Pertanyaan yang menjebak, dijawab jujur salah, apalagi bohong bisa runyam.

Belum ustadzah.” Lagi-lagi Amelia yang menjawab. Aku hanya berdiri seperti orang bisu.
Jadi ... kalian mencuri?!
Engga, ustadzah ...” Kami semakin tersudut.
Buang!!” Tangan ustadzah menunjuk ember.
Jangan ustadzah .....” Wajah Amelia memelas, bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu. Matanya berkaca-kaca. Melihat reaksi Amelia aku ingin tertawa.
Buang saya bilang!!

Air mata Amelia tumpah. Dengan berat hati Amelia menumpahkan hasil jerih payah kami, menyisakan seperempat bagian. Ustadzah pun berlalu. Amelia menatapku tajam.

Kenapa gak bantu ngomong?!” dengusnya kesal.
Aku nyengir, “Takut ....”

Besoknya, begitu bel istirahat berdering aku berlari ke gedung asrama. Rasanya sudah tidak sabar ingin melihat pati keladi. Di depan kamar tampak Amel sedang murung. Entah kenapa.

Gagal, Cass ..., ” ucap Amelia pelan begitu aku mendekat. Rupanya gara-gara pati keladi itu.

Segera kubuka penutup ember. Ekspetasi tak seindah realita. Bukan endapan keladi yang terlihat melainkan larutan berwarna coklat tua, berbau busuk pula. Aih ... sialnya.

Mungkin gara-gara keladi curian, Mel,” kataku lirih.

Kami terduduk lemas di depan kamar menelan kekecewaan.
Previous
Next Post »

berkomentar lah dengan bijak belajar menghargai karya orang lain Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment